0
Loading...
Home  ›  Chapter  ›  Gadis Kretek

Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah

"Novel Gadis Kretek ditulis Ratih Kumala dan diterbitkan tahun 2012 mengangkat budaya Jawa, terutama tentang sejarah awal pabrik kretek di Indonesia."

Gadis Kretek Chapter 1
Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah

Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah

Romo  sekarat.  Berhari-hari  dia  mengigau-igau  sebuah

nama: Jeng Yah.


Nama itu kontan membangunkan hantu masa lalu yang aku tak pernah tahu pernah ada. Hantu yang dikubur rapat- rapat oleh ibuku bertahun-tahun silam. Satu sisi kepribadian Ibu yang tak pernah kutahu sebelumnya tiba-tiba muncul ke permukaan wajahnya:  ibuku bisa cemburu. Ya, perempuan yang usianya tak lagi muda itu, seraya cemburu buta. Dan betapa  menakutkannya  Ibu  kala  dia  sedang  cemburu,  se­ olah-olah ia mampu menerkam apa pun, siapa pun, di mana pun, kapan pun. Seolah-olah ia bisa menelan bulat-bulat segala hal yang membuatnya kesal.


”Aku  yang  memelihara  dia  sakit,  perempuan  itu  yang


dipanggil-panggil!” omel Ibu, mulutnya miring-miring dan monyong-monyong saking kesalnya. Dia membanting wa­ dah obat yang sebenarnya akan diberikan ke romoku siang itu. Sumpah, aku mendengar Ibu mengomel sambil berbisik

di  antara  tangis yang tertahan  bahwa  dia  berharap  Romo


mati  saja sekarang! Tentu  saja aku tak pernah  menyangka


doa  buruk  akan  keluar  dari  mulut  Ibu.  Mendengar  itu, membuatku menahan napas, tak percaya.

Dalam tiga puluh tujuh tahun usia perkawinan orangtua- ku, tak pernah sekali pun aku tahu ada orang ketiga hadir di antara mereka. Jika Pemerintah mengadakan proyek per­ contohan  rumah  tangga  yang  baik  dan  benar, maka  pasti yang dipilih adalah orangtuaku. Kerukunan  rumah  tangga ini pula yang kemudian diturunkan pada kami, ketiga anak lelakinya. Aku dan kedua masku pun berkumpul, bermufakat,

’pasti yang namanya Jeng Yah itu hadir sebelum Romo dan


Ibu menikah.”


”Apa-apaan kalian menyebut-nyebut nama laknat itu?!” Tanpa  kami  tahu,  Ibu  ternyata  mendengar  pembicaraan kami. Kami mengkerut dan langsung mengunci mulut lalu bubar sambil pura-pura sibuk. Matanya melotot, mengubah nyali  kami  jadi  semungil  biji  selasih.  Dia  menatap  kami dengan penuh kemarahan, sempat dua detik kulihat alisnya menyatu. Kami berpencar, tak jadi meneruskan permufakat­

an.


Romo memang menderita stroke tiga tahun terakhir, se­ paruh  badannya mati. Seolah  separuh nyawanya dirampas paksa oleh Malaikat Maut yang tak tuntas mengerjakan tugasnya. Ketika stroke itu pertama kali menyerang, Romo terbata-bata  mencoba  berkata,  bahwa  sebaiknya  dia  mati saja daripada harus cacat separuh. Aku mencoba mengerti

ucapannya  yang  cadel  ketika  itu.  Dengan  terapi,  sedikit demi sedikit Romo pulih. 

[-]

Dalam waktu satu tahun, Romo bisa  kembali  berjalan, meski  ia masih  tak bisa  merasakan tangannya  dan  lafalnya tetap  cadel. Ia masih  tak bisa me­ ngendalikan  emosinya. Ketika  tertawa, dia akan terus  ter­ tawa meski orang lain sudah berhenti tertawa. Ketika ter­ haru, tepatnya  ketika kakak tertuaku, Mas Tegar, akhirnya menikah, Romo menangis sejadi-jadinya bak lelaki kehi­ langan harga diri. Yang benar, sejatinya ia kehilangan stop kontak emosi dalam  dirinya yang telah  terbawa oleh Ma­ laikat Maut yang tak tuntas menggarap tugasnya: hanya mengambil separuh nyawa Romo.


Demikianlah, sembilan tahun  Romo berhasil hidup de­ngan  nyawa  hanya  separuh. Tetapi, setahun  terakhir tiba- tiba kesehatannya menurun tajam. Dia kian melemah, nya­ wanya seolah dicerabut sedikit demi  sedikit oleh Malaikat M aut yang kadang iseng mampir  ke  kamarnya.  Rupanya, Malaikat Maut itu datang juga sambil mencerabut ingatan Romo untuk tak menyentuh lagi bagian tertentu masa lalu­ nya. Lalu hal yang ditakutkan itu terjadi, terbukalah kotak pandora itu... kotak yang berisi sebuah nama: Jeng Yah.


Aku pulang ke rumah, setelah tiga bulan tidak menunjukkan batang hidungku, meskipun aku masih tinggal Jakarta, sama dengan keluargaku. Aku lebih suka berdiam di apartemenku dan  berkutat dengan  segala  kegiatan  kreatif yang kusuka. Sebenarnya, sudah beberapa kali Mas Karim meneleponku

untuk  mengabari  keadaan  Romo,  tetapi  aku  tidak  segera

pulang sebab ia masih dirawat di rumah. Kupikir, tidak akan


separah ini keadaannya. Apalagi, Mas Tegar dan Mas Karim masih saja bolak-balik ke luar kota untuk urusan bisnis. Ku­ putuskan  untuk  mengunjungi  Romo  dan  Ibu,  sebab  aku tahu pada hari ini Mas Tegar kembali setelah dua minggu di Singapura. Beberapa kali, aku menelepon Mas Tegar juga dia tak segera meluangkan waktunya untukku. Ada urusan yang harus kusampaikan pada Mas Tegar. Lebih  tepatnya, urusan  pekerjaan  yang tidak  ada sangkut  pautnya  dengan pabrik kretek keluarga kami.


Kulihat Romo terbaring lemah  di kamarnya yang kor- dennva tak pernah dibuka. Seolah sinar matahari pun akan menyakiti Romo. Akibatnya, aroma tua dan amis rasa sakit menguar di ruangan Romo, meskipun aku tahu setiap hari kamar Romo pasti akan dibersihkan pembantu. Kuurungkan niatku untuk menyerahkan proposal itu pada Mas Tegar.

”Aku enggak tahu Romo punya waktu berapa lama lagi, gimana kalau keburu bablas?” Aku khawatir pada Romo.


’’Bablas piye?” tanya Mas Tegar.


”Ya bablas... meninggal.”


’’Astagfirullah, Bas, Lebas... mbok jangan ngomong jelek gitu!” Mas Karim mengingatkanku.

’’Jelek  gimana?  Kan  bener,  semua  orang  hidup  pasti mati.” Kedua kakakku diam saja dengan ucapanku.

’Terus, sekarang gimana?” Mas Karim  memecah  kesu­


nyian di antara kami.

’Menurutku,  kita  harus  tanya  ke  Ibu...  soal Jeng Yah itu,” ucapku.


[-]

”Kamu ndak lihat muka Ibu? Mau dibeleh?”


Aku spontan memegang leherku ketika Mas Tegar meng­ ucap  kata  ’dibeleh’. Ya,  mungkin  Ibu  sudah  menyiapkan sebilah  parang yang diam-diam  diasahnya  untuk  menebas leher siapa pun yang menyebut nama Jeng Yah. Toh ternyata Ibu bisa cemburu buta, bisa saja seraya berubah jadi ninja!

”Tapi  kalo  Romo  meninggal  enggak  tenang, gimana?” Aku masih berargumen.

”Ya zves tho... namanya meninggal, meninggal aja!”


”Ya enggak bisa gitu, M as.... Kalau masih ada unfinished business, bisa gentayangan.” Tangan Mas Tegar seraya meno- yor kepalaku.

’Kebanyakan  garap film horor kowe!” ucap Mas Tegar kesal. Aku merapikan rambutku.

’Mas... mbok lihat itu Romo gimana. Dia manggil- manggil nama Jeng Yah. Itu pasti permintaan  terakhirnya. Entah dia pengin ketemu, entah pengin tahu kabarnya. Po­ koknya sesuatu yang berhubungan dengan Jeng Yah itu tadi! Masa’ kita enggak peduli  sama keinginan  terakhir Romo? Tega?”

”Iya, tapi keinginan terakhir kok bikin Ibu ngamuk!”


”Kalo Ibu punya keinginan terakhir pengin ketemu man­ tan  pacarnya  yang duluuu...  pasti  aku juga  akan  nurutin! Percaya, deh!” Aku meyakinkan.

’Memang Jeng Yah itu mantan pacar Romo, ya?” tanya


Mas Karim. Kami baru sadar, kami tak tahu apa-apa tentang


Jeng Yah. Kata ’pacar’ keluar begitu saja dari mulutku, ter-nyata aku sudah menyimpulkan sendiri sejak pertama Romo


mengigaukan nama Jeng Yah.


’’Pasti  mantan  pacar!” Aku  sok  yakin  benar.  ’’Apalagi coba kalau tidak membuat Ibu cemburu begitu.”

’’Kalau  begitu...  kamu yang tanya  Ibu  soal Jeng Yah!”


Mas Karim menunjuk hidungku.


”Hah?! Aku? Mas Tegar  ajalah!  Enggak  mungkin  Mas Tegar  dibeleh,  kan  yang  ngurus  pabrik  Mas Tegar.  Kalo aku, pasti dibeleh... enggak berguna, bisa dibuang, enggak pengaruh sama urusan pabrik kan.”

Mas Tegar menghela  napas  pendek.  Dia  kesal  padaku, aku tahu itu, karena dia tahu aku benar. Mas Tegar memang jenis ’anak harapan orangtua’, putra pertama keluarga yang diharapkan menjadi penerus pabrik rokok milik keluarga kami. Rokok cap Djagad Raja.

’’Gimana  kalau  kita  tanya  langsung saja ke  Romo soal


Jeng Yah?” usul Mas Karim.


’Setuju!”


’’Mana mungkin!”


Aku dan Mas Tegar saling berpandangan, kami menjawab berbarengan. Sebelum Mas Tegar berkata apa-apa lagi, aku bilang, ’’Mas...  Romo itu keadaannya sudah  kadang sadar kadang enggak, mana mungkin kita bisa ngomong ke Ro-

mo.n


”Ya, dicoba  dulu!” Aku berpikir sejenak, memang lebih baik kalau  bisa  mengorek  informasi  lewat  Romo  terlebih

dahulu, tidak langsung dari Ibu.


[-]


”Ya sudah....” Akhirnya  aku  mengalah.  Kami  sepakat,


Mas Tegar beranjak.


"Kamu jaga Romo kan malam ini? Coba cari kesempatan tanya ke Romo.”

”Iya, deh.” Aku sebenarnya ragu.


”Hati-hati jangan sampai ketahuan Ibu!” Mas Tegar mengingatkan.

”Iya.” Aku mengangguk. ”Kalau aku gagal, gantian ya... siapa pun yang punya kesempatan harus tanya ke Romo, itu plan A -nya!” Kami sepakat.


"Plan B-nya apa?”

”Plan B-nya ya Mas Tegar tanya ke Ibu.” Mas Tegar mele­ ngos mendengar jawabanku. Yah... dia kesal lagi, makin sulit aku mendekati Mas Tegar untuk melancarkan pekerjaanku.

Ketika  Mas  Tegar  pergi,  kuputuskan  untuk  berbicara


pada Mas Karim. Kutunjukkan proposal yang sudah kubuat dengan Power Point di MacBook Pro-ku. Alas Karim menghela napas.

”Kamu  kan  tahu, urusanmu  ini  ndak  bisa  langsung ke aku. Kamu harus ngomong sama Mas Tegar.”

”Tapi masa Mas Karim enggak bisa bantuin, sih?”


”Ya gimana... memang begitu pesannya Mas Tegar.” Sejujurnya, aku kesal dan kecewa. Aku, adiknya sendiri,

yang juga pewaris Kretek Djagad Raja, tapi gerakku dibatasi.


Aku memang berbeda dari kedua kakakku. Aku satu-satunya anak yang terjun ke dunia seni. Yah... aku sih menyebutnya seni, tapi kedua kakakku tidak berpikir demikian.


Keesokannya,  aku  sengaja  berpakaian  rapi  jali  hendak


menemui Mas Tegar di kantornya. Ketika aku datang, beberapa orang sudah berada di ruang tunggu, wajah-wajah yang kukenal. Yang pertama bernama Ipung Wardoyo, dia sutradara  iklan.  Ketika  aku  datang,  dia  tak  mengenaliku, tentu  saja. Yang  kedua,  Maria Johansvah,  sutradara  layar lebar yang sekarang merambah menjadi produser teater.


Rokok Kretek Djagad Raja memang sering menjadi sponsor acara-acara  seni  besar,  semacam  teater  dan  konser.  Mas Karim biasa menjadi orang yang mengurus ini semua, meski keputusan akhir bukan cuma di Mas Karim, tetapi juga Mas Tegar yang lebih punya kuasa.

Pasti mereka datang dalam rangka  mengajukan  konsepnya. Tiba-tiba  muncul Jul, kru cabutan yang pernah jadi astradaku di salah satu sinetron, menemui Maria Johansvah.


”Eh... Mas Lebas? W ah... kemari juga?” Aku tersenyum.

”Iya. Kamu ada acara apa kemari?”


”Pitching. Mas juga kan?” Sumpah demi Tuhan, aku tak tahu  kalau hari ini ada pitching. Aku tersenyum, menutupi ketaktahuanku.  ”Aku  ngikutin  Mbak  Maria,  Mas.  Belajar bikin iklan. Gila nih ya Kretek Djagad Raja kan mau ulang- tahun yang ke berapa  gitu...  pasti  duitnya gede deh  buat iklan. 

Beda  sama  sinetron  ya Mas, kita  kerja  berhari-hari tapi ya bayarannya segitu. Kalo mau banyak, ya kudu ambil strippingan.” Jul tertaw a, seolah mengingat hari-hari ketika kami bekerja sama memproduksi sinetron. ”Tapi saingannya berat, M as....” Jul melirik ke Ipung Wardoyo, ”...tuh sutradara iklan yang aseli aja ikutan pitching juga.”


[-]

O ooh... jadi hari ini pitching untuk iklan Kretek Djagad Raja. Filmaker luar tahu semua, kecuali aku. Huh. Seorang gadis muncul dari  dalam  ruangan, Sabrina, sekretaris Alas Tegar. Dia tersenyum ramah padaku.


”Eh, Alas Lebas... lama enggak nongol. Mau ketemu sa­


ma Alas Tegar, ya?”


”Iya. Ada?”

”Ada ”


Lalu,  Jul  menyenggolku,  berbisik,  ”Kok  kamu  sudah kenal sama Pak Tegar, Mas?”

”Dia  kakakku/’ Aku nyengir, lalu masuk ke ruang Alas


Tegar, meninggalkan Jul yang melongok.


Sebenarnya tak heran jika orang tak mengenalku sebagai salah  satu  anak pemilik kretek  terbesar di Indonesia, aku memang tak pernah terlibat banyak dalam bisnis ini. Masuk ke  ruang kerja Alas Tegar, beragam poster kegiatan seni yang pernah disponsori Djagad Raja terpampang.  Poster- poster itu senyatanya  merupakan  kebanggaan Alas Tegar juga. 


Sialnya, aku sendiri, adiknya, yang juga  bergerak di bidang seni, tak pernah  sekali pun  mendapat sponsor dari perusahaan yang  juga  merupakan  bagian  milikku.  Selama ini, jika aku membuat sebuah film, aku lebih banyak men­ dapat pesanan langsung dari production house yang bersang­ kutan.


Aku pun punya cita-cita untuk membuat film kelas A, yang punya nilai moral tinggi, dengan bintang utama keren semacam Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra,


Kinaryosih, atau Lola  Amaria. Jika  harus  memakai  aktor


senior, tentu  saja aku akan  memilih  Didi  Petet, Christine Hakim,  I'io Pakusadewo. 'lapi sialnya, untuk orang sekaya keluargaku (yang berarti aku juga kaya raya), tak semudah itu bagiku mewujudkan cita-cita. Awalnya karena aku berkeras pada keluargaku, demi membuktikan biarpun aku anak yang mbalelo, tapi bisa juga berdiri di atas kaki sendiri, alias bahwa aku  pun  bisa  menjadi  sutradara  tanpa  perlu  dukungan modal dari Kretek Djagad Raja.


Jadi, sepulang dari Amerika dan ada sebuah production bouse yang membuka kesempatan untuk menjadi sutradara, aku tak menvia-nyiakannya. Kebetulan, mereka suka dengan  film pendek yang pernah kubuat  selama  kuliah  di  Amerika.


Orang production  bouse itu  berjanji  akan  memberiku  kesempatan  membuat  film yang kumau, jika aku bisa membuat film horor yang mereka pesan.  Pikirku,  film  horor  itu  adalah  ujian  bagiku. Maka, kugarap sebenar-benarnya, sebagus-bagusnya. Sialnya, film itu  meledak  di  pasar.


Siapa  coba  yang  tak  kenal  dengan film Misteri Beduk Nyai Ronggeng. Kenapa aku bilang ’sial’? Karena, setelah itu, orang production bouse yang keturunan India itu bilang demikian padaku, nYou bikin horor ajalah, you lebih bagus di situ. Bikin film idealis no numey! I sama saja gambling kalo gitu. I bisa rugi. Yes'"


Setelah itu, seolah-olah dunia perfilman telah menasbihkanku menjadi pembuat film kelas C atau paling bagus kelas B. Nah, Mas Tegar  dan  Mas  Karim  tentunya  dua  orang dari kelas yang amat sangat A alias A+, tidak suka dengan


film-film horor enggakjelas, yang menurutnya membuat penonton Indonesia jalan di jalan di tempat. Mereka menonton film itu, dan  mengaku, 15 menit pertama  keluar bioskop. Tak lama, produser keturunan India itu menawariku (yang kebetulan sedang nganggur) untuk membuat sinetron stripping.


Dengan  segala  keterbatasan,  yaitu:  satu  lokasi, shoot yang diharapkan lebih banyak close-up, dan dialog yang banyak di-voice over, alias diverbalkan meski itu sebenarnya itu adalah kata hati tokoh.


Aku hendak menolaknya, tapi kemudian produser itu bi­ lang, ”Ini kans bagus buat you. Anggap aja tantangan! Listen to me Lebas, semua orang bisa bikin film idealis, tapi enggak semua orang bisa bikin sinetron stripping.


Kalo you bisa ne- rima tatangan I ini, I yakin... you bisa bikin film model gi- mana pun! Nah, you mau bayaran berapa?  Segini cukup?” Lalu produser itu menyelipkan selembar kertas bertuliskan nominal angka bayaran per episode.


Setelah itu, Mas Tegar berkomentar, "Aku koreksi, kamu bukan membuat penonton Indonesia jalan di tempat, tapi juga mengalami kemunduran

10 tahun.”


Sejak  itu,  sekeras  apa  pun  aku  mencoba  merayu  Mas Tegar untuk mensponsori filmku, ia tak bakal meloloskan­ nya.  Meskipun  aku  presentasi  dengan  cerita  yang  keren, tidak menye-menye sama sekali, penuh dengan pesan moral, dan membawa daftar calon pemain yang mentereng.


’Kamu  mau  nawarin  apa  ke  aku? Jangan  bilang kamu ikutan pitching juga.” Mas Tegar berkata sinis. Aku memutar mata, sebal.

[-]

”Aku enggak mau pitching. Lagian  kalo iya, pasti  kalah


sama si Ipang Wardoyo. Aku mau  mengambil share-ku di pabrik.”

”Buat apaan?”


”Buat bikin film.”


”Ndak!”


’’Mas...  aku  ini  enggak  lagi  ngajuin  proposal  ke foun­ dation buat dana seni. Aku ini minta share-ku dicairin, biar punya modal buat bikin film.”

”Ya aku enggak ngijinin!” Mas Tegar menegaskan.


’’Mencairkan  aset  kan  hakku.  Wong aku  juga  pemilik


Kretek Djagad Raja.” Aku bersikeras.


’’Sebagai orang yang paling tahu bisnis ini, dan terutama sebagai kakakmu, aku juga berhak untuk memberi anjuran kalau asetmu sebaiknya tidak dicairkan. Apalagi untuk bisnis baru yang tak jelas juntrungannya.”


’’Enggak jelas gimana sih Mas?  Film  tuh  duniaku. Aku mau berkembang masa enggak boleh?” Aku mulai menge­ luarkan sungut, macam serangga siap tempur.

Mas Tegar menjawab, ”Aku enggak percaya kamu bisa bikin film bagus. Paling jadinya yajeng-jeng close-up melulu kayak  sinetronmu  itu.” Dia  menekankan  pada  kata jeng- jeng dengan nada ditinggikan seolah itu musik latar sebuah sinetron.


’Kalau  kamu  bisa  meyakinkan  aku  bisa  bikin karya yang bagus, aku akan kasih. Tapi, so far presentasimu enggak  bikin  aku yakin.


” Ya sudah,  aku  mati  kutu.  Satu- satunya jalanku untuk melemahkan Mas Tegar adalah lewat

Mas Karim. Semoga saja dia bisa membantu. Sial.



Romo seperti sebatang kayu. Betapa anehnya manusia


ketika menua, kulit tak ubahnya kulit kayu yang berkerut. Romo mengingatkanku pada batang kayu yang ditemukan Gepeto  bakal jadi  Pinokio. Ya, romoku  Pinokio. Ada jiwa masa muda yang tersimpan dalam diri batang kayu Romo.


Bekas luka di keningnya sepertinya  makin  dalam, pikirku. Padahal beberapa bulan  lalu, ketika  Romo belum  menjadi sebatang  kayu,  bekas  lukanya  tidak  sedalam  itu.  Tidak seperti bekas luka Harry Potter yang berbentuk kilat, dan menandakannya  sakti,  bekas luka  Romo  berupa  garis dan ada bekas tiga jahitan.


Letaknya di ujung dahi, sehingga ada sedikit bagian rambut Romo yang pitak karena bekas luka itu mencerabut paksa akar-akar rambutnya di kepala depan. Aku pernah  bertanya  perihal  bekas  luka  itu,  Romo  selalu menjawab bahwa itu adalah  kenangan dari masa mudanya yang  liar.


Tak  percaya  aku,  seliar  apa  masa  muda  Romo. Seumur hidup kukenal Romo, dia adalah lelaki yang penuh disiplin,  lurus,  tak  pernah ’liar”.  Romo  hanya  bercerita, kalau  dulu  ia  berkelahi  dengan  seseorang,  dan  orang  itu membawa   semprong  petromaks  yang  kemudian   dihan­ tamkan ke kepalanya, sedang Romo tangan  kosong.


”Jelas saja Romo kalah!” Demikian ia selalu mengakhiri kisahnya dengan nada heroik -padahal ia kalah. Apakah di senja usia­ ku  anak-anakku  kelak  juga  akan  berpikir,  seperti  apakah masa muda ayahnya ini? Anak? Cih... belum jelas pula siapa

pcndampingku kelak.


Aku membayang-bayangkan, seperti apa wajah Jeng Yah. Apakah dia berambut tinggi dengan hairspray? Apakah


dia  mengenakan  rok lebar yang membuatnya  ingin  selalu berputar-putar hingga roknya mengembang? Sedemikian berkesannya Jeng Yah untuk Romo, hingga di masa redup­ nya pun nama Jeng Yah yang disebut.


O ya, satu lagi, nama panjang Jeng  Yah apa  ya? Aku  terus  memandangi  Romo yang tertidur, sekali-kali ia mengeluarkan suara napas yang tersegal, terbatuk, berpindah dari menengok kanan lalu menengok ke kiri. Tiba-tiba mata Romo terbuka.


"Bas...,” ujar  Romo. Aku seraya  mendekatkan  tubuhku pada Romo.

”Ya Romo?”


"Romo mau pipis. Antarin ke kamar mandi.”


”Ya sudah, pipis saja... enggak apa-apa, sudah ada kateter.”


"O iya, Romo lupa.”


Romo terdiam, dia seperti mengejan. Air kuning menga­


lir di selang kateter. Tak lama, Romo melihat ke arahku lagi.


”B as...”


”Ya Romo? Kenapa? Mau minum?”


”Iya.”


Aku mengambilkan air minum di botol Aqua dan men­ dekatkan sedotannya ke mulut Romo, dia meminum sedikit demi sedikit. Romo lama memandangku.


’’Kamu, anakku, Bas....”


”Iya, Romo.”

"Biarpun kamu ndak mau ngurus pabrik, kamu tetap anakku, Bas,” Romo berkata dengan datar.

[-]


”Iya, Romo.” Ucapan  Romo barusan membuatku  ingin


nangis. Kutahan  airmataku. Jangan  nangis! Jangan  nangis!


ucapku pada diri sendiri.


Ah, sangat berbeda dengan saat aku bilang tak ingin me­ ngurus pabrik. Ketika itu Romo menyumpahiku, bahkan mengancam  tidak akan  memberikan  warisan  untukku. Ya, namaku sempat dihapus dari daftar pewaris kerajaan Kretek Djagad Raja.


Melihat tubuh Romo yang rubuh, membuatku teringat pada  masa  laluku  yang sebenarnya  belum  terlalu lama. Aku berharap bisa memutar waktu dan lebih berbakti pada  keluargaku,  pada  keinginan  Romo.  Berharap  semua tidak terlambat.

”Romo....” Romo masih memandangku dengan tatapan datar, ”Jeng Yah... itu siapa?” tanyaku takut-takut.

”Dari mana kamu tahu Jeng Yah?”


’Romo  sendiri  yang  ngelindur.” Romo  terkekeh  berat dan  pelan,  ia  seperti   menyadari  kebodohannya.  ’’Romo mimpi Jeng Yah?”

”Iva, aku mimpi Jeng Yah. Apa ibumu tahu aku ngelindur


Jeng Yah?”


”Tahu.” Romo  terkekeh  berat  lagi.  ”Romo  pengin  ke­


temu Jeng Yah?”


”Iya... tapi jangan bilang-bilang ibumu, ya. Ibumu pasti marah.”

”Jeng Yah di mana Romo?”


"Terakhir ketemu di Kudus. Dulu... waktu kamu belum lahir.” Kudus... tempat kelahiran Kretek Djagad Raja, tentu saja! Di sanalah Romo menghabiskan masa mudanya.


”Apa kamu bisa nyari Jeng Yah, Bas?”


’’Enggak tahu, Romo,” jawabku. Lalu kami terdiam agak lama, Romo terus memandangiku, dan aku memandangi Romo.


’’Romo capek,” sambungnya tiba-tiba.


”Ya sudah, Romo tidur saja.” Padahal masih banyak per­ tanyaan yang ingin kutanyakan pada Romo. Romo meman­ dangku, lalu matanya tertutup pelan-pelan. Ia tertidur nya­ man.



’’Jeng Yah di Kudus!” laporku pada kedua kakakku keesokannya. Kami terdiam lama. Kalimat Romo ’apa kamu bisa nyari Jeng Yah,  Bas?’ terngiang-ngiang  di  kepalaku.  Dan tanpa sadar aku bilang, ’’Romo pengin aku, eh... kita nyari Jeng Yah.” Kedua kakakku saling pandang.

”Oke, kamu ke Kudus!”


”Hah?!” Aku kaget dengan ucapan Mas Karim. Aku pa­ ling malas kembali ke Kota Kudus. Kota itu panas. Paling- paling yang dilihat Menara  Kudus dan makan soto kudus. O ya, satu lagi yang bisa dilihat, kretek! Kalimat ’apa kamu bisa nyari Jeng Yah, Bas?’ mengiang lagi. Sial!

”Bas, kamu itu orang paling santai di seluruh dunia. Ka­


mu  punya  banyak waktu untuk pergi ke mana-mana, kan.


.Aku sama Mas Tegar musti ngurus pabrik.”


Benar juga sih. Tapi ke Kudus? Ngapain? 'Apa kamu bisa nyari Jeng Yah. Bas?' Aaaarrgghh...! Satu kata itu pun akhir­nya meluncur dengan gampang: ”ya.”


"Yo wes, besok berangkat...  naik pesawat dulu ke Sema­


rang, nanti aku suruh supir jemput kamu di Semarang buat ke Kudus.”

’Enggak mau, aku naik mobil saja!”

”Hah?!”


”Iya, aku mau nyetir naik mobil saja.... Lagipula kan informasi tentang Jeng Yah belum lengkap. Kan Mas Tegar masih  mau  tanya  ke Ibu?” Mas Tegar menatapku  dengan kesal, dipikirnya aku lupa dengan rencana itu.


”Aku enggak mau  kelamaan  nunggu  di  Kudus  kalau  belum  ada  infor­ masi apa-apa. Lagipula aku mau mampir di Cirebon, mau ketemu teman lama di sana. Kan lewat, dari Jakarta-Bekasi- Karawang-Cirebon-Semarang   terus   Kudus.   Paling   aku cuma sehari kok di Cirebon.”

’Nginep?


”Iva.  Mau  ketemu  teman  yang  sama-sama  kuliah  di


Amerika,” jawabku.  Wajah  Mas Tegar  mendadak  cureng.


’’Kamu  gila ya?  Kita  ini  ndak  punya  waktu,  harus  cepat- cepat ketemu itu yang namanya Jeng Yah.”


”Iya, urusan film. Cuma sehari kok, janji!” Sejak awal aku sudah menyiapkan diri, proposal filmku bakal ditolak kedua kakakku. Dan  kali ini  aku sudah bertekad  ingin  membuat film indie dengan durasi panjang, sebagian dengan uang milikku sendiri, sebagian aku akan cari sponsor di luar Kre- tek Djagad Raja, dan sebagian lagi aku akan gerilya minta tolong teman-temanku yang bisa kumintai bantuan  secara murah  (untung-untung  gratis),  yaitu  mereka  yang  masih berjiwa indie.

[-]

"Yo wes, terserah  kamulah!” Ya, sudah  untung aku mau pergi, pasti demikian isi kepala Mas Tegar dan Mas Karim. Kujejalkan beberapa lembar pakaian di dalam tasranselku,  seperangkat  alat mandi, dan handuk kecil.


Tak lupa kubawa kamera, siapa tahu ada gambar yang menarik untuk difoto, dan iPod agar aku  nyaman  mendengarkan musik sepanjang perjalanan.


Kubangunkan Romo ketika hendak pergi, kucium tangannya. Aroma tua menguar dari kulitnya yang keriput.


"Romo, aku pergi mau nyari Jeng Yah,” bisikku di telinga Romo.


"Dari mana kamu tahu Jeng Yah?"


"Dari Romo, kemarin Romo cerita."


’’Masa?”


”Iya.”


”Aku lupa.”


"Tapi Romo mau kan ketemu Jeng Yah?”


”Mau.” Lalu Romo terdiam, lama... sambil memandangi wajahku, dan matanya tertutup lagi. Setelah itu aku bergegas pergi.


Pamitku pada Ibu akan ke Kudus  mengurus  beberapa urusan  pabrik.  Ibu  memandang  wajahku  tak  percaya.  Ibu tak banyak tanya karena Mas Karim menengahi sambil berkata, "biar saja Bu...  mungkin Lebas jadi sadar setelah melihat Romo sakit.”


Kunyalakan mobil, lantas kunyalakan pula sebatang Kretek Djagad Raja, dan kuletakkan semua bawaanku  di kursi belakang.  


Di  kepalaku  mulai  terdengar  sebaris  lirik lagu yang selalu menyertaiku ketika dalam perjalanan darat, I'm a poor lonesome cowboy on a long way home,. Sambil berdoa aku bisa menembak sasaran lebih cepat dari bayanganku sendiri.



Konten Islami
Konten Islami is a Professional Educational Platform. Here we will provide you only interesting content, which you will like very much.
facebook twitter youtube pinterest instagram
Post a Comment
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS