Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah
"Novel Gadis Kretek ditulis Ratih Kumala dan diterbitkan tahun 2012 mengangkat budaya Jawa, terutama tentang sejarah awal pabrik kretek di Indonesia."
Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah |
Gadis Kretek Chapter 1: Jeng Yah
Romo sekarat. Berhari-hari dia mengigau-igau sebuah
nama: Jeng Yah.
Nama itu kontan membangunkan hantu masa lalu yang aku tak pernah tahu pernah ada. Hantu yang dikubur rapat- rapat oleh ibuku bertahun-tahun silam. Satu sisi kepribadian Ibu yang tak pernah kutahu sebelumnya tiba-tiba muncul ke permukaan wajahnya: ibuku bisa cemburu. Ya, perempuan yang usianya tak lagi muda itu, seraya cemburu buta. Dan betapa menakutkannya Ibu kala dia sedang cemburu, se olah-olah ia mampu menerkam apa pun, siapa pun, di mana pun, kapan pun. Seolah-olah ia bisa menelan bulat-bulat segala hal yang membuatnya kesal.
”Aku yang memelihara dia sakit, perempuan itu yang
dipanggil-panggil!” omel Ibu, mulutnya miring-miring dan monyong-monyong saking kesalnya. Dia membanting wa dah obat yang sebenarnya akan diberikan ke romoku siang itu. Sumpah, aku mendengar Ibu mengomel sambil berbisik
di antara tangis yang tertahan bahwa dia berharap Romo
mati saja sekarang! Tentu saja aku tak pernah menyangka
doa buruk akan keluar dari mulut Ibu. Mendengar itu, membuatku menahan napas, tak percaya.
Dalam tiga puluh tujuh tahun usia perkawinan orangtua- ku, tak pernah sekali pun aku tahu ada orang ketiga hadir di antara mereka. Jika Pemerintah mengadakan proyek per contohan rumah tangga yang baik dan benar, maka pasti yang dipilih adalah orangtuaku. Kerukunan rumah tangga ini pula yang kemudian diturunkan pada kami, ketiga anak lelakinya. Aku dan kedua masku pun berkumpul, bermufakat,
’pasti yang namanya Jeng Yah itu hadir sebelum Romo dan
Ibu menikah.”
”Apa-apaan kalian menyebut-nyebut nama laknat itu?!” Tanpa kami tahu, Ibu ternyata mendengar pembicaraan kami. Kami mengkerut dan langsung mengunci mulut lalu bubar sambil pura-pura sibuk. Matanya melotot, mengubah nyali kami jadi semungil biji selasih. Dia menatap kami dengan penuh kemarahan, sempat dua detik kulihat alisnya menyatu. Kami berpencar, tak jadi meneruskan permufakat
an.
Romo memang menderita stroke tiga tahun terakhir, se paruh badannya mati. Seolah separuh nyawanya dirampas paksa oleh Malaikat Maut yang tak tuntas mengerjakan tugasnya. Ketika stroke itu pertama kali menyerang, Romo terbata-bata mencoba berkata, bahwa sebaiknya dia mati saja daripada harus cacat separuh. Aku mencoba mengerti
ucapannya yang cadel ketika itu. Dengan terapi, sedikit demi sedikit Romo pulih.
Dalam waktu satu tahun, Romo bisa kembali berjalan, meski ia masih tak bisa merasakan tangannya dan lafalnya tetap cadel. Ia masih tak bisa me ngendalikan emosinya. Ketika tertawa, dia akan terus ter tawa meski orang lain sudah berhenti tertawa. Ketika ter haru, tepatnya ketika kakak tertuaku, Mas Tegar, akhirnya menikah, Romo menangis sejadi-jadinya bak lelaki kehi langan harga diri. Yang benar, sejatinya ia kehilangan stop kontak emosi dalam dirinya yang telah terbawa oleh Ma laikat Maut yang tak tuntas menggarap tugasnya: hanya mengambil separuh nyawa Romo.
Demikianlah, sembilan tahun Romo berhasil hidup dengan nyawa hanya separuh. Tetapi, setahun terakhir tiba- tiba kesehatannya menurun tajam. Dia kian melemah, nya wanya seolah dicerabut sedikit demi sedikit oleh Malaikat M aut yang kadang iseng mampir ke kamarnya. Rupanya, Malaikat Maut itu datang juga sambil mencerabut ingatan Romo untuk tak menyentuh lagi bagian tertentu masa lalu nya. Lalu hal yang ditakutkan itu terjadi, terbukalah kotak pandora itu... kotak yang berisi sebuah nama: Jeng Yah.
Aku pulang ke rumah, setelah tiga bulan tidak menunjukkan batang hidungku, meskipun aku masih tinggal Jakarta, sama dengan keluargaku. Aku lebih suka berdiam di apartemenku dan berkutat dengan segala kegiatan kreatif yang kusuka. Sebenarnya, sudah beberapa kali Mas Karim meneleponku
untuk mengabari keadaan Romo, tetapi aku tidak segera
pulang sebab ia masih dirawat di rumah. Kupikir, tidak akan
separah ini keadaannya. Apalagi, Mas Tegar dan Mas Karim masih saja bolak-balik ke luar kota untuk urusan bisnis. Ku putuskan untuk mengunjungi Romo dan Ibu, sebab aku tahu pada hari ini Mas Tegar kembali setelah dua minggu di Singapura. Beberapa kali, aku menelepon Mas Tegar juga dia tak segera meluangkan waktunya untukku. Ada urusan yang harus kusampaikan pada Mas Tegar. Lebih tepatnya, urusan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pabrik kretek keluarga kami.
Kulihat Romo terbaring lemah di kamarnya yang kor- dennva tak pernah dibuka. Seolah sinar matahari pun akan menyakiti Romo. Akibatnya, aroma tua dan amis rasa sakit menguar di ruangan Romo, meskipun aku tahu setiap hari kamar Romo pasti akan dibersihkan pembantu. Kuurungkan niatku untuk menyerahkan proposal itu pada Mas Tegar.
”Aku enggak tahu Romo punya waktu berapa lama lagi, gimana kalau keburu bablas?” Aku khawatir pada Romo.
’’Bablas piye?” tanya Mas Tegar.
”Ya bablas... meninggal.”
’’Astagfirullah, Bas, Lebas... mbok jangan ngomong jelek gitu!” Mas Karim mengingatkanku.
’’Jelek gimana? Kan bener, semua orang hidup pasti mati.” Kedua kakakku diam saja dengan ucapanku.
’Terus, sekarang gimana?” Mas Karim memecah kesu
nyian di antara kami.
’Menurutku, kita harus tanya ke Ibu... soal Jeng Yah itu,” ucapku.
”Kamu ndak lihat muka Ibu? Mau dibeleh?”
Aku spontan memegang leherku ketika Mas Tegar meng ucap kata ’dibeleh’. Ya, mungkin Ibu sudah menyiapkan sebilah parang yang diam-diam diasahnya untuk menebas leher siapa pun yang menyebut nama Jeng Yah. Toh ternyata Ibu bisa cemburu buta, bisa saja seraya berubah jadi ninja!
”Tapi kalo Romo meninggal enggak tenang, gimana?” Aku masih berargumen.
”Ya zves tho... namanya meninggal, meninggal aja!”
”Ya enggak bisa gitu, M as.... Kalau masih ada unfinished business, bisa gentayangan.” Tangan Mas Tegar seraya meno- yor kepalaku.
’Kebanyakan garap film horor kowe!” ucap Mas Tegar kesal. Aku merapikan rambutku.
’Mas... mbok lihat itu Romo gimana. Dia manggil- manggil nama Jeng Yah. Itu pasti permintaan terakhirnya. Entah dia pengin ketemu, entah pengin tahu kabarnya. Po koknya sesuatu yang berhubungan dengan Jeng Yah itu tadi! Masa’ kita enggak peduli sama keinginan terakhir Romo? Tega?”
”Iya, tapi keinginan terakhir kok bikin Ibu ngamuk!”
”Kalo Ibu punya keinginan terakhir pengin ketemu man tan pacarnya yang duluuu... pasti aku juga akan nurutin! Percaya, deh!” Aku meyakinkan.
’Memang Jeng Yah itu mantan pacar Romo, ya?” tanya
Mas Karim. Kami baru sadar, kami tak tahu apa-apa tentang
Jeng Yah. Kata ’pacar’ keluar begitu saja dari mulutku, ter-nyata aku sudah menyimpulkan sendiri sejak pertama Romo
mengigaukan nama Jeng Yah.
’’Pasti mantan pacar!” Aku sok yakin benar. ’’Apalagi coba kalau tidak membuat Ibu cemburu begitu.”
’’Kalau begitu... kamu yang tanya Ibu soal Jeng Yah!”
Mas Karim menunjuk hidungku.
”Hah?! Aku? Mas Tegar ajalah! Enggak mungkin Mas Tegar dibeleh, kan yang ngurus pabrik Mas Tegar. Kalo aku, pasti dibeleh... enggak berguna, bisa dibuang, enggak pengaruh sama urusan pabrik kan.”
Mas Tegar menghela napas pendek. Dia kesal padaku, aku tahu itu, karena dia tahu aku benar. Mas Tegar memang jenis ’anak harapan orangtua’, putra pertama keluarga yang diharapkan menjadi penerus pabrik rokok milik keluarga kami. Rokok cap Djagad Raja.
’’Gimana kalau kita tanya langsung saja ke Romo soal
Jeng Yah?” usul Mas Karim.
’Setuju!”
’’Mana mungkin!”
Aku dan Mas Tegar saling berpandangan, kami menjawab berbarengan. Sebelum Mas Tegar berkata apa-apa lagi, aku bilang, ’’Mas... Romo itu keadaannya sudah kadang sadar kadang enggak, mana mungkin kita bisa ngomong ke Ro-
mo.n
”Ya, dicoba dulu!” Aku berpikir sejenak, memang lebih baik kalau bisa mengorek informasi lewat Romo terlebih
dahulu, tidak langsung dari Ibu.
[-]
”Ya sudah....” Akhirnya aku mengalah. Kami sepakat,
Mas Tegar beranjak.
"Kamu jaga Romo kan malam ini? Coba cari kesempatan tanya ke Romo.”
”Iya, deh.” Aku sebenarnya ragu.
”Hati-hati jangan sampai ketahuan Ibu!” Mas Tegar mengingatkan.
”Iya.” Aku mengangguk. ”Kalau aku gagal, gantian ya... siapa pun yang punya kesempatan harus tanya ke Romo, itu plan A -nya!” Kami sepakat.
"Plan B-nya apa?”
”Plan B-nya ya Mas Tegar tanya ke Ibu.” Mas Tegar mele ngos mendengar jawabanku. Yah... dia kesal lagi, makin sulit aku mendekati Mas Tegar untuk melancarkan pekerjaanku.
Ketika Mas Tegar pergi, kuputuskan untuk berbicara
pada Mas Karim. Kutunjukkan proposal yang sudah kubuat dengan Power Point di MacBook Pro-ku. Alas Karim menghela napas.
”Kamu kan tahu, urusanmu ini ndak bisa langsung ke aku. Kamu harus ngomong sama Mas Tegar.”
”Tapi masa Mas Karim enggak bisa bantuin, sih?”
”Ya gimana... memang begitu pesannya Mas Tegar.” Sejujurnya, aku kesal dan kecewa. Aku, adiknya sendiri,
yang juga pewaris Kretek Djagad Raja, tapi gerakku dibatasi.
Aku memang berbeda dari kedua kakakku. Aku satu-satunya anak yang terjun ke dunia seni. Yah... aku sih menyebutnya seni, tapi kedua kakakku tidak berpikir demikian.
Keesokannya, aku sengaja berpakaian rapi jali hendak
menemui Mas Tegar di kantornya. Ketika aku datang, beberapa orang sudah berada di ruang tunggu, wajah-wajah yang kukenal. Yang pertama bernama Ipung Wardoyo, dia sutradara iklan. Ketika aku datang, dia tak mengenaliku, tentu saja. Yang kedua, Maria Johansvah, sutradara layar lebar yang sekarang merambah menjadi produser teater.
Rokok Kretek Djagad Raja memang sering menjadi sponsor acara-acara seni besar, semacam teater dan konser. Mas Karim biasa menjadi orang yang mengurus ini semua, meski keputusan akhir bukan cuma di Mas Karim, tetapi juga Mas Tegar yang lebih punya kuasa.
Pasti mereka datang dalam rangka mengajukan konsepnya. Tiba-tiba muncul Jul, kru cabutan yang pernah jadi astradaku di salah satu sinetron, menemui Maria Johansvah.
”Eh... Mas Lebas? W ah... kemari juga?” Aku tersenyum.
”Iya. Kamu ada acara apa kemari?”
”Pitching. Mas juga kan?” Sumpah demi Tuhan, aku tak tahu kalau hari ini ada pitching. Aku tersenyum, menutupi ketaktahuanku. ”Aku ngikutin Mbak Maria, Mas. Belajar bikin iklan. Gila nih ya Kretek Djagad Raja kan mau ulang- tahun yang ke berapa gitu... pasti duitnya gede deh buat iklan.
Beda sama sinetron ya Mas, kita kerja berhari-hari tapi ya bayarannya segitu. Kalo mau banyak, ya kudu ambil strippingan.” Jul tertaw a, seolah mengingat hari-hari ketika kami bekerja sama memproduksi sinetron. ”Tapi saingannya berat, M as....” Jul melirik ke Ipung Wardoyo, ”...tuh sutradara iklan yang aseli aja ikutan pitching juga.”
O ooh... jadi hari ini pitching untuk iklan Kretek Djagad Raja. Filmaker luar tahu semua, kecuali aku. Huh. Seorang gadis muncul dari dalam ruangan, Sabrina, sekretaris Alas Tegar. Dia tersenyum ramah padaku.
”Eh, Alas Lebas... lama enggak nongol. Mau ketemu sa
ma Alas Tegar, ya?”
”Iya. Ada?”
”Ada ”
Lalu, Jul menyenggolku, berbisik, ”Kok kamu sudah kenal sama Pak Tegar, Mas?”
”Dia kakakku/’ Aku nyengir, lalu masuk ke ruang Alas
Tegar, meninggalkan Jul yang melongok.
Sebenarnya tak heran jika orang tak mengenalku sebagai salah satu anak pemilik kretek terbesar di Indonesia, aku memang tak pernah terlibat banyak dalam bisnis ini. Masuk ke ruang kerja Alas Tegar, beragam poster kegiatan seni yang pernah disponsori Djagad Raja terpampang. Poster- poster itu senyatanya merupakan kebanggaan Alas Tegar juga.
Sialnya, aku sendiri, adiknya, yang juga bergerak di bidang seni, tak pernah sekali pun mendapat sponsor dari perusahaan yang juga merupakan bagian milikku. Selama ini, jika aku membuat sebuah film, aku lebih banyak men dapat pesanan langsung dari production house yang bersang kutan.
Aku pun punya cita-cita untuk membuat film kelas A, yang punya nilai moral tinggi, dengan bintang utama keren semacam Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra,
Kinaryosih, atau Lola Amaria. Jika harus memakai aktor
senior, tentu saja aku akan memilih Didi Petet, Christine Hakim, I'io Pakusadewo. 'lapi sialnya, untuk orang sekaya keluargaku (yang berarti aku juga kaya raya), tak semudah itu bagiku mewujudkan cita-cita. Awalnya karena aku berkeras pada keluargaku, demi membuktikan biarpun aku anak yang mbalelo, tapi bisa juga berdiri di atas kaki sendiri, alias bahwa aku pun bisa menjadi sutradara tanpa perlu dukungan modal dari Kretek Djagad Raja.
Jadi, sepulang dari Amerika dan ada sebuah production bouse yang membuka kesempatan untuk menjadi sutradara, aku tak menvia-nyiakannya. Kebetulan, mereka suka dengan film pendek yang pernah kubuat selama kuliah di Amerika.
Orang production bouse itu berjanji akan memberiku kesempatan membuat film yang kumau, jika aku bisa membuat film horor yang mereka pesan. Pikirku, film horor itu adalah ujian bagiku. Maka, kugarap sebenar-benarnya, sebagus-bagusnya. Sialnya, film itu meledak di pasar.
Siapa coba yang tak kenal dengan film Misteri Beduk Nyai Ronggeng. Kenapa aku bilang ’sial’? Karena, setelah itu, orang production bouse yang keturunan India itu bilang demikian padaku, nYou bikin horor ajalah, you lebih bagus di situ. Bikin film idealis no numey! I sama saja gambling kalo gitu. I bisa rugi. Yes'"
Setelah itu, seolah-olah dunia perfilman telah menasbihkanku menjadi pembuat film kelas C atau paling bagus kelas B. Nah, Mas Tegar dan Mas Karim tentunya dua orang dari kelas yang amat sangat A alias A+, tidak suka dengan
film-film horor enggakjelas, yang menurutnya membuat penonton Indonesia jalan di jalan di tempat. Mereka menonton film itu, dan mengaku, 15 menit pertama keluar bioskop. Tak lama, produser keturunan India itu menawariku (yang kebetulan sedang nganggur) untuk membuat sinetron stripping.
Dengan segala keterbatasan, yaitu: satu lokasi, shoot yang diharapkan lebih banyak close-up, dan dialog yang banyak di-voice over, alias diverbalkan meski itu sebenarnya itu adalah kata hati tokoh.
Aku hendak menolaknya, tapi kemudian produser itu bi lang, ”Ini kans bagus buat you. Anggap aja tantangan! Listen to me Lebas, semua orang bisa bikin film idealis, tapi enggak semua orang bisa bikin sinetron stripping.
Kalo you bisa ne- rima tatangan I ini, I yakin... you bisa bikin film model gi- mana pun! Nah, you mau bayaran berapa? Segini cukup?” Lalu produser itu menyelipkan selembar kertas bertuliskan nominal angka bayaran per episode.
Setelah itu, Mas Tegar berkomentar, "Aku koreksi, kamu bukan membuat penonton Indonesia jalan di tempat, tapi juga mengalami kemunduran
10 tahun.”
Sejak itu, sekeras apa pun aku mencoba merayu Mas Tegar untuk mensponsori filmku, ia tak bakal meloloskan nya. Meskipun aku presentasi dengan cerita yang keren, tidak menye-menye sama sekali, penuh dengan pesan moral, dan membawa daftar calon pemain yang mentereng.
’Kamu mau nawarin apa ke aku? Jangan bilang kamu ikutan pitching juga.” Mas Tegar berkata sinis. Aku memutar mata, sebal.
”Aku enggak mau pitching. Lagian kalo iya, pasti kalah
sama si Ipang Wardoyo. Aku mau mengambil share-ku di pabrik.”
”Buat apaan?”
”Buat bikin film.”
”Ndak!”
’’Mas... aku ini enggak lagi ngajuin proposal ke foun dation buat dana seni. Aku ini minta share-ku dicairin, biar punya modal buat bikin film.”
”Ya aku enggak ngijinin!” Mas Tegar menegaskan.
’’Mencairkan aset kan hakku. Wong aku juga pemilik
Kretek Djagad Raja.” Aku bersikeras.
’’Sebagai orang yang paling tahu bisnis ini, dan terutama sebagai kakakmu, aku juga berhak untuk memberi anjuran kalau asetmu sebaiknya tidak dicairkan. Apalagi untuk bisnis baru yang tak jelas juntrungannya.”
’’Enggak jelas gimana sih Mas? Film tuh duniaku. Aku mau berkembang masa enggak boleh?” Aku mulai menge luarkan sungut, macam serangga siap tempur.
Mas Tegar menjawab, ”Aku enggak percaya kamu bisa bikin film bagus. Paling jadinya yajeng-jeng close-up melulu kayak sinetronmu itu.” Dia menekankan pada kata jeng- jeng dengan nada ditinggikan seolah itu musik latar sebuah sinetron.
’Kalau kamu bisa meyakinkan aku bisa bikin karya yang bagus, aku akan kasih. Tapi, so far presentasimu enggak bikin aku yakin.
” Ya sudah, aku mati kutu. Satu- satunya jalanku untuk melemahkan Mas Tegar adalah lewat
Mas Karim. Semoga saja dia bisa membantu. Sial.
Romo seperti sebatang kayu. Betapa anehnya manusia
ketika menua, kulit tak ubahnya kulit kayu yang berkerut. Romo mengingatkanku pada batang kayu yang ditemukan Gepeto bakal jadi Pinokio. Ya, romoku Pinokio. Ada jiwa masa muda yang tersimpan dalam diri batang kayu Romo.
Bekas luka di keningnya sepertinya makin dalam, pikirku. Padahal beberapa bulan lalu, ketika Romo belum menjadi sebatang kayu, bekas lukanya tidak sedalam itu. Tidak seperti bekas luka Harry Potter yang berbentuk kilat, dan menandakannya sakti, bekas luka Romo berupa garis dan ada bekas tiga jahitan.
Letaknya di ujung dahi, sehingga ada sedikit bagian rambut Romo yang pitak karena bekas luka itu mencerabut paksa akar-akar rambutnya di kepala depan. Aku pernah bertanya perihal bekas luka itu, Romo selalu menjawab bahwa itu adalah kenangan dari masa mudanya yang liar.
Tak percaya aku, seliar apa masa muda Romo. Seumur hidup kukenal Romo, dia adalah lelaki yang penuh disiplin, lurus, tak pernah ’liar”. Romo hanya bercerita, kalau dulu ia berkelahi dengan seseorang, dan orang itu membawa semprong petromaks yang kemudian dihan tamkan ke kepalanya, sedang Romo tangan kosong.
”Jelas saja Romo kalah!” Demikian ia selalu mengakhiri kisahnya dengan nada heroik -padahal ia kalah. Apakah di senja usia ku anak-anakku kelak juga akan berpikir, seperti apakah masa muda ayahnya ini? Anak? Cih... belum jelas pula siapa
pcndampingku kelak.
Aku membayang-bayangkan, seperti apa wajah Jeng Yah. Apakah dia berambut tinggi dengan hairspray? Apakah
dia mengenakan rok lebar yang membuatnya ingin selalu berputar-putar hingga roknya mengembang? Sedemikian berkesannya Jeng Yah untuk Romo, hingga di masa redup nya pun nama Jeng Yah yang disebut.
O ya, satu lagi, nama panjang Jeng Yah apa ya? Aku terus memandangi Romo yang tertidur, sekali-kali ia mengeluarkan suara napas yang tersegal, terbatuk, berpindah dari menengok kanan lalu menengok ke kiri. Tiba-tiba mata Romo terbuka.
"Bas...,” ujar Romo. Aku seraya mendekatkan tubuhku pada Romo.
”Ya Romo?”
"Romo mau pipis. Antarin ke kamar mandi.”
”Ya sudah, pipis saja... enggak apa-apa, sudah ada kateter.”
"O iya, Romo lupa.”
Romo terdiam, dia seperti mengejan. Air kuning menga
lir di selang kateter. Tak lama, Romo melihat ke arahku lagi.
”B as...”
”Ya Romo? Kenapa? Mau minum?”
”Iya.”
Aku mengambilkan air minum di botol Aqua dan men dekatkan sedotannya ke mulut Romo, dia meminum sedikit demi sedikit. Romo lama memandangku.
’’Kamu, anakku, Bas....”
”Iya, Romo.”
"Biarpun kamu ndak mau ngurus pabrik, kamu tetap anakku, Bas,” Romo berkata dengan datar.
[-]
”Iya, Romo.” Ucapan Romo barusan membuatku ingin
nangis. Kutahan airmataku. Jangan nangis! Jangan nangis!
ucapku pada diri sendiri.
Ah, sangat berbeda dengan saat aku bilang tak ingin me ngurus pabrik. Ketika itu Romo menyumpahiku, bahkan mengancam tidak akan memberikan warisan untukku. Ya, namaku sempat dihapus dari daftar pewaris kerajaan Kretek Djagad Raja.
Melihat tubuh Romo yang rubuh, membuatku teringat pada masa laluku yang sebenarnya belum terlalu lama. Aku berharap bisa memutar waktu dan lebih berbakti pada keluargaku, pada keinginan Romo. Berharap semua tidak terlambat.
”Romo....” Romo masih memandangku dengan tatapan datar, ”Jeng Yah... itu siapa?” tanyaku takut-takut.
”Dari mana kamu tahu Jeng Yah?”
’Romo sendiri yang ngelindur.” Romo terkekeh berat dan pelan, ia seperti menyadari kebodohannya. ’’Romo mimpi Jeng Yah?”
”Iva, aku mimpi Jeng Yah. Apa ibumu tahu aku ngelindur
Jeng Yah?”
”Tahu.” Romo terkekeh berat lagi. ”Romo pengin ke
temu Jeng Yah?”
”Iya... tapi jangan bilang-bilang ibumu, ya. Ibumu pasti marah.”
”Jeng Yah di mana Romo?”
"Terakhir ketemu di Kudus. Dulu... waktu kamu belum lahir.” Kudus... tempat kelahiran Kretek Djagad Raja, tentu saja! Di sanalah Romo menghabiskan masa mudanya.
”Apa kamu bisa nyari Jeng Yah, Bas?”
’’Enggak tahu, Romo,” jawabku. Lalu kami terdiam agak lama, Romo terus memandangiku, dan aku memandangi Romo.
’’Romo capek,” sambungnya tiba-tiba.
”Ya sudah, Romo tidur saja.” Padahal masih banyak per tanyaan yang ingin kutanyakan pada Romo. Romo meman dangku, lalu matanya tertutup pelan-pelan. Ia tertidur nya man.
’’Jeng Yah di Kudus!” laporku pada kedua kakakku keesokannya. Kami terdiam lama. Kalimat Romo ’apa kamu bisa nyari Jeng Yah, Bas?’ terngiang-ngiang di kepalaku. Dan tanpa sadar aku bilang, ’’Romo pengin aku, eh... kita nyari Jeng Yah.” Kedua kakakku saling pandang.
”Oke, kamu ke Kudus!”
”Hah?!” Aku kaget dengan ucapan Mas Karim. Aku pa ling malas kembali ke Kota Kudus. Kota itu panas. Paling- paling yang dilihat Menara Kudus dan makan soto kudus. O ya, satu lagi yang bisa dilihat, kretek! Kalimat ’apa kamu bisa nyari Jeng Yah, Bas?’ mengiang lagi. Sial!
”Bas, kamu itu orang paling santai di seluruh dunia. Ka
mu punya banyak waktu untuk pergi ke mana-mana, kan.
.Aku sama Mas Tegar musti ngurus pabrik.”
Benar juga sih. Tapi ke Kudus? Ngapain? 'Apa kamu bisa nyari Jeng Yah. Bas?' Aaaarrgghh...! Satu kata itu pun akhirnya meluncur dengan gampang: ”ya.”
"Yo wes, besok berangkat... naik pesawat dulu ke Sema
rang, nanti aku suruh supir jemput kamu di Semarang buat ke Kudus.”
’Enggak mau, aku naik mobil saja!”
”Hah?!”
”Iya, aku mau nyetir naik mobil saja.... Lagipula kan informasi tentang Jeng Yah belum lengkap. Kan Mas Tegar masih mau tanya ke Ibu?” Mas Tegar menatapku dengan kesal, dipikirnya aku lupa dengan rencana itu.
”Aku enggak mau kelamaan nunggu di Kudus kalau belum ada infor masi apa-apa. Lagipula aku mau mampir di Cirebon, mau ketemu teman lama di sana. Kan lewat, dari Jakarta-Bekasi- Karawang-Cirebon-Semarang terus Kudus. Paling aku cuma sehari kok di Cirebon.”
’Nginep?
”Iva. Mau ketemu teman yang sama-sama kuliah di
Amerika,” jawabku. Wajah Mas Tegar mendadak cureng.
’’Kamu gila ya? Kita ini ndak punya waktu, harus cepat- cepat ketemu itu yang namanya Jeng Yah.”
”Iya, urusan film. Cuma sehari kok, janji!” Sejak awal aku sudah menyiapkan diri, proposal filmku bakal ditolak kedua kakakku. Dan kali ini aku sudah bertekad ingin membuat film indie dengan durasi panjang, sebagian dengan uang milikku sendiri, sebagian aku akan cari sponsor di luar Kre- tek Djagad Raja, dan sebagian lagi aku akan gerilya minta tolong teman-temanku yang bisa kumintai bantuan secara murah (untung-untung gratis), yaitu mereka yang masih berjiwa indie.
"Yo wes, terserah kamulah!” Ya, sudah untung aku mau pergi, pasti demikian isi kepala Mas Tegar dan Mas Karim. Kujejalkan beberapa lembar pakaian di dalam tasranselku, seperangkat alat mandi, dan handuk kecil.
Tak lupa kubawa kamera, siapa tahu ada gambar yang menarik untuk difoto, dan iPod agar aku nyaman mendengarkan musik sepanjang perjalanan.
Kubangunkan Romo ketika hendak pergi, kucium tangannya. Aroma tua menguar dari kulitnya yang keriput.
"Romo, aku pergi mau nyari Jeng Yah,” bisikku di telinga Romo.
"Dari mana kamu tahu Jeng Yah?"
"Dari Romo, kemarin Romo cerita."
’’Masa?”
”Iya.”
”Aku lupa.”
"Tapi Romo mau kan ketemu Jeng Yah?”
”Mau.” Lalu Romo terdiam, lama... sambil memandangi wajahku, dan matanya tertutup lagi. Setelah itu aku bergegas pergi.
Pamitku pada Ibu akan ke Kudus mengurus beberapa urusan pabrik. Ibu memandang wajahku tak percaya. Ibu tak banyak tanya karena Mas Karim menengahi sambil berkata, "biar saja Bu... mungkin Lebas jadi sadar setelah melihat Romo sakit.”
Kunyalakan mobil, lantas kunyalakan pula sebatang Kretek Djagad Raja, dan kuletakkan semua bawaanku di kursi belakang.
Di kepalaku mulai terdengar sebaris lirik lagu yang selalu menyertaiku ketika dalam perjalanan darat, I'm a poor lonesome cowboy on a long way home,. Sambil berdoa aku bisa menembak sasaran lebih cepat dari bayanganku sendiri.