Gadis Kretek Chapter 3: Klobot Djojobojo
"Gadis Kretek Chapter 3: Klobot Djojobojo"
Gadis Kretek Chapter 3: Klobot Djojobojo |
Gadis Kretek Chapter 3: Klobot Djojobojo
Idroes Moeria pernah mendengar ramalan itu dari Kyai yang dia temui di langgar; bahwa Djojobojo telah mera malkan Indonesia akan menderita selama tiga setengah abad di bawah pemerintahan orang kulit putih. ”Yr Londo iku sing genre sengsoro!"demikian ucap Kyai. Ramalan itu, tak berhenti di situ, ada lanjutannya: dan akan dimerdekakan oleh saudara tua yang berkulit kuning. Diam-diam, Idroes Moeria mengingat-ingat ramalan itu dan menghitung. Jika hitungannya tidak salah, maka tahun depan adalah waktu nya Belanda hengkang dari Indonesia.
Setelah itu, ia ya kin akan bisa meraih masa depan yang lebih baik. Idroes Moeria ingin menaikkan derajatnya, dari sekadar buruh menjadi pemilik usaha kecil. Meskipun ibunya senantiasa berkata, ’’jangan mimpi ketinggian, Le!” Idroes Moeria me mang hanya tinggal bersama simboknya.
Pemuda itu tahu, bakal menjadi tulang punggung keluarga setelah bapaknya meninggal dunia saat ia berusia tiga belas tahun, meski ibu nya juga bekerja sebagai babu di rumah tetangga mereka yang jauh lebih mapan. Awalnya, Idroes Moeria ikut Pak Trisno sebagai pelinting klobot, dan kini ia dipercaya untuk mengepak, kadang Pak Trisno menyuruhnya untuk mengantarkan pesanan klobot ke pasar atau ke toko obat.
Idroes Moeria telah menjelma menjadi pemuda. Terakhir kali ia menangis adalah ketika melihat ayahnya diuruk di liang lahat. Setelah itu, tidak, meski kehidupan bersama simboknya berat dan pas-pasan. Air matanya seolah telah ikut dikubur bersama jasad ayahnya. Idroes Moeria, seperti kebanyakan pemuda lainnya, punya cita-cita untuk masa depan yang lebih baik. Ia tahu, dirinya harus memutuskan garis kemiskinan keluarga agar anak cucunya sejahtera. Ia ingin membahagiakan keluarga kecilnya dan -tentu saja- simboknya. Masalahnya, Idroes Moeria belum punya ke luarga kecil. Ia tak yakin, seorang buruh giling yang kerja nya cuma melinting dan tak bisa baca tulis macam dia akan diterima oleh Roemaisa, gadis cantik anak Juru Tulis.
Sejak ikut Pak Trisno, Idroes Moeria diam-diam mempelajari sikap Pak Trisno. Dia sangat menghormati lelaki paruh baya itu, menganggapnya sebagai pengganti men diang bapaknya. Idroes Moeria melihat bahwa kehidupan Pak Trisno lumayan mapan hanya dengan berjualan klobot.
Lebih dari itu, dia melihat merek-merek dagang sigaret yang sudah lebih dahulu populer, diproduksi di kota-kota lain, terutama dari Kota Kudus yang beredar di kota kecamatan M , tempatnya tinggal. Orang-orang menyebut klobot milik Pak Trisno sebagai ’klobot Trisno’. Pak Trisno memang tidak memberi nama khusus untuk klobot produksinya.
[-]
Idroes Moeria ingin menjadi pengusaha klobot, seperti Pak Trisno. Ia telah memiliki rencana-rencana agar usaha klobotnya jadi lebih maju dari milik Pak Trisno. Ia memiliki apa yang disebut orang zaman sekarang sebagai ’visi dan misi’. Idroes Moeria telah mempersiapkan nama dagang untuk klobot produksinya, dia juga ingin memberi selubung kemasan tertentu agar orang mengenal klobot produksinya.
Gadis cantik dan pendiam itu bernama Roemaisa. Idroes Moeria menaruh penasaran pada gadis itu, yang kemudian berkembang menjadi benih cinta. Ia berbeda dengan gadis lain yang lebih suka bergerombol dan cekikikan. Roemaisa lebih sering bepergian sendiri, bahasa tubuhnya senada dengan seekor kucing betina yang tengah mengulet manja. Tak perlulah ditanya lagi, pasti banyak pemuda yang mengincar Roemaisa untuk dijadikan kekasih. Dia hanya tersenyum ramah sekali pandang, lalu selanjutnya ia akan menundukkan kepala sambil terus berjalan, jika berpapasan dengan Idroes Moeria.
Lelaki muda itu telah menandai senyum Roemaisa. Gadis itu tak tersenyum demikian ke pada lelaki lain, hanya pada dirinya. Meski Roemaisa dan Idroes Moeria tak pernah benar-benar berbincang, namun Idroes Moeria yakin pandangan mata dan segaris senyum Roemaisa berkata, bahwa dirinya juga menyimpan benih cinta pada Idroes Moeria.
Sebagai anak Juru Tulis, tentu saja kehidupan Roemaisa lumayan sejahtera, jauh dari kehidupan seorang buruh. Maka, jika Idroes Moeria hendak menikahinya, ia harus punya visi dan misi untuk menjamin bahwa Roemaisa akan hidup senang jika bersamanya.
Orangtuanya tak mungkin melepas Roemaisa untuk lelaki yang tak bisa menghidupi puterinya dengan layak. Lebih dari itu, Roemaisa bisa baca tulis huruf abjad. Idroes Moeria mengetahuinya tanpa sengaja ketika ia melihat Roemaisa membantu membaca kan secarik surat cinta milik temannya. Hal inilah yang membuat Idroes Moeria minder, mengingat dirinya hanya bisa membaca huruf hijaiyah. Itu pun, ia tak mengerti arti nya, seperti kebanyakan anak lain. Semua anak belajar membaca Quran di langgar, maka semua bisa membaca hu ruf hijaiyah, lain huruf tidak, kecuali jika mereka datang ke Sekolah Rakyat.
Teman Idroes Moeria, sesama pelinting klobot, juga mengincar Roemaisa. Lelaki itu bernama Soedjagad. Mes kipun mereka teman bermain sejak kecil, tetapi ketika me nyangkut Roemaisa, Idroes Moeria akan dengan serius menganggap mereka bersaing. Diam-diam, Idroes Moeria mencibir bahwa Soedjagad adalah lelaki bodoh yang kabotan jeneng alias keberatan nama. Bagaimana tidak, namanya saja ’soedjagad’, yang berarti sumber jagad/dunia’. Idroes Moeria menduga, pasti waktu kecil Soedjagad sakit-sakitan karena kabotanjeneng. Suatu keajaiban lelaki muda itu masih hidup hingga sekarang, pasti dia melewati berpuluh-puluh kali selametan yang terpaksa digelar orangtuanya.
Ketika Idroes Moeria mendengar kabar bahwa Belanda sudah pergi, dan saudara tua yang disebut orang sebagai Jepang datang, Idroes Moeria sujud syukur. Ini adalah awal dari visi dan misinya yang telah lama direncanakan, pikirnya. Bahkan, Belanda pun telah menyerahkan Kota Soerabaia pada Jepang. Demikian kuatnya saudara tua itu, hingga dalam waktu singkat bisa mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Meskipun Idroes Moeria belum pernah melihat seperti apa orang Jepang itu, tetapi dia sangat berterimakasih pada mereka.
[-]
Hari itu dia merasa Kota M suasananyj a indah dan cerah. Pantas dirayakan dengan satu hal: bersepeda mele wati depan rumah Juru Tulis, siapa tahu dia bisa meng intip Roemaisa yang kebetulan ada di balik jendela. Idroes Moeria sengaja melambatkan laju sepedanya ketika mele wati depan rumah Juru Tulis. Diam-diam hatinya girang ketika melihat pintu rumah Juru Tulis terbuka, dan Roemaisa duduk di kursi tamu. Ia serasa melayang di atas sepedanya hanya demi melihat Roemaisa sekilas, tapi tak lama hatinya mencelos, ketika ia melihat siapa yang duduk di kursi tamu lainnya: Soedjagad. Idroes Moeria berhenti di ujung jalan, bingung bercampur penasaran menyerang hatinya. Untuk apa lelaki kabotan jeneng itu mengunjungi rumah Juru Tulis? Roemaisa menemuinya pula.
Padahal, selama ini yang ia tahu, Soedjagad tak pernah berkunjung ke rumah Roemaisa, meski pesaingnya itu naksir berat pada Roemaisa. Tunggu dulu, pikir Idroes Moeria, jangan- jangan dia salah lihat. Jangan-jangan lelaki tadi bukan Soedjagad. Idroes Moeria mengumpulkan keberanian, lalu memutuskan memutar kembali sepedanya dan memastikan
pandangannya, bahwa memang Soedjagad yang berada di rumah Juru Tulis. Dia memperlambat laju sepedanya lagi, dan kali ini ia memastikan padangannya tak salah, memang Soedjagad yang berada di rumah Juru Tulis. Kali ini Idroes Moeria melihat lebih jelas, ada Juru Tulis bersama istrinya yang juga duduk di kursi tamu, dan tentu saja Roemaisa. Apakah Soedjagad...? Idroes Moeria tak berani meneruskan pikirannya. Dia takut yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, bahwa Soedjagad tengah melamar Roemaisa! Malam itu Idroes Moeria tak bisa tidur. Di luar hu jan, meski scsiangan tadi suasana cerah.
Seolah-olah hari ini cuaca tahu isi hati Idroes Moeria. Apa gunanya Be landa telah pergi dan Jepang datang, kalau Roemaisa sudah terlanjur dilamar orang? Ia yakin dirinya akan membujang sampai mati kalau Roemaisa menikahi Djagad. Dirinya mungkin punya visi dan misi, tapi ia terlambat melaksana kan semuanya. Seseorang yang memiliki nyali lebih besar daripada dirinya, seseorang bernama Soedjagad, telah me lamar Roemaisa. Tapi benarkah itu? Jangan-jangan ia hanya berkunjung. Kalaupun sekadar berkunjung, untuk apa? Idroes Moeria gelisah, badannnya gulang-guling kanan kiri tanpa bisa ia memejamkan mata. Hanya ada satu cara, ia harus bertanya pada Djagad.
Keesokannya, Idroes Moeria bertanya pada Soedjagad, benarkah ia telah melihat Djagad di rumah Juru Tulis? Le laki itu kaget, dari mana Idroes Moeria tahu. Dijawabnya bahwa kemarin kebetulan ia melewati rumah Juru Tulis.
Tapi Soedjagad tak mengaku ketika ditanya apa kepentingannya ke rumah Juru Tulis. Dia hanya bilang mengantarkan sejum lah ldobot yang dipesan Juru Tulis. Masakah itu benar? Sejak kapan Juru Tulis membeli sejumlah banyak klobot? Memangnya dia mau jadi pemasok klobot? Djagad tak menjawab. Dia lebih suka diam dan melanjutkan melinting. Semua jawaban Soedjagad dipikir Idroes Moeria sebagai tak masuk akal.
Seusai melinting, Idroes Moeria menemui Pak Trisno. Lelaki itu bingung ketika ditanya benarkah Juru Tulis hendak menjadi pemasok klobot Trisno? Pak Trisno malah menggeleng sambil balik bertanya, dari mana Idroes Moeria mendengar itu semua? Jikapun iya, maka pasti Pak Trisno sudah mendengarnya terlebih dahulu. Lalu, Idroes Moeria bertanya lagi, kalau begitu untuk apa Juru Tulis membeli banyak klobot Trisno? Pak Trisno menjawab, dia tak pernah menerima pesananan apa pun dari Juru Tulis. Kini, Idroes Moeria yakin, Soedjagad telah berbohong. Hati Idroes Moeria tak bisa tenang. Apalagi hingga menjelang jam pulang, Djagad seperti menjaga jarak dengan dirinya.
[-]
Tapi Tuhan punya rencana lain, ketika Idroes Moeria sedang seorang diri merenungi kejadian kemarin sambil mengisap klobotnya, gadis yang dipikirkannya lewat. Idroes Moeria segera membuang klobotnya ke tanah, lalu dengan tergesa menginjak-injak sisa klobot yang masih separuh itu. Dia berdiri dari duduknya di rerumputan, demi memberi sekadar senyum tanda hormat pada Roemaisa.
Gadis itu seperti biasa lewat sambil menunduk, lalu dengan sekali pandang, ia mengulaskan sebuah senyum manis sebelum akhirnya menunduk kembali sambil terus berjalan. Idroes Moeria kembali terpana dengan kecantikan Roemaisa. Ia ingin berkata sesuatu, tapi selalu... kerongkongannya se raya tercekat. Pupus sudah kesempatannya untuk menyapa, apalagi bertanya soal kejadian kemarin, sebab gadis itu telah melewatinya. Idroes Moeria telah benar-benar di belakang Roemaisa.
Lelaki itu hanya memandangi punggung Roemasia. Tiba-tiba, keajaiban terjadi, Roemaisa meng hentikan langkah dan perlahan ia membalikkan tubuhnya. Idroes Moeria bengong takjub dengan kejadian itu. Teng gorokannya masih tercekat, meski ia ingin berkata sesuatu lebih dahulu. Roemaisa berkata-suara paling merdu yang pernah didengar Idroes Moeria pada usianya yang belia-, ’’belajar membaca.” Lalu Roemaisa berbalik dan melanjutkan langkahnya. Kali ini ia benar-benar pergi.
Idroes Moeria masih takjub dengan keajaiban yang baru saja terjadi. Tuhan memang Mahabaik, pikirnya. Hari yang berawan tiba-tiba menjadi cerah kembali. Digenjotnya sepeda dengan laju. Malamnya, ia berpikir arti ucapan Roemaisa: belajar membaca. Kata-kata itu seperti meresap dalam dirinya. Belajar membaca. Belajar membaca. Belajar membaca. Belajar membaca. Pasti yang dimaksud Roemaisa belajar membaca huruf abjad.
Masalahnya, Idroes Moeria tidak tahu ke mana dia harus belajar membaca. Ia bertanya pada teman-temannya, adakah dari mereka yang bisa membaca huruf abjad. Tapi semuanya menggeleng. Ketika Idroes Moeria bertanya pada Soedjagad, lelaki itu melengos dengan wajah tak senang. Akhirnya, Idroes Moeria memutuskan untuk mengunjungi sebuah Sekolah Rakyat. Ia bertekad ingin belajar membaca, meski itu berarti dirinya harus absen kerja beberapa saat dengan risiko tak punya uang. Betapa terkejutnya ia, ketika melihat sekolah itu telah berantakan, nyaris poranda.
Seorang kakek yang lewat berkata, bahwa yang melakukan itu orang Jepang. Mereka memaksa guru Sekolah Rakyat untuk bekerja pada mereka. Sekolah itu otomatis bubar, sebab tak ada yang mengajar. Setelah itu, ia mendengar kasak-kusuk orang-orang, bahwa ada beberapa orang yang telah dipaksa bekerja untuk Jepang.
Dipaksa. Dipaksa? Sepertinya sulit bagi Idroes Moeria untuk menerima kata itu disandingkan dengan Jepang. Bu kankah mereka yang membebaskan Indonesia dari Belanda? Minta baik-baik pasti orang-orang akan menurut, tak perlu memaksa. Tak lama, pertanyaan Idroes Moeria terjawab ketika ia pergi bekerja. Pak Trisno mengumumkan dirinya gulung tikar, berhenti jadi pengusaha klobot. Lelaki paruh baya itu mengumumkan bahwa klobot-klobot yang sudah jadi kemarin diminta oleh Jepang. Katanya, akan digunakan sebagai modal perang. Perang? Perang melawan siapa? Idroes Moeria kembali penasaran. Industri tembakau juga sedang jatuh, sebab banyak yang diambil oleh Jepang langsung di perkebunannya.
Pak Trisno minta maaf, tak bisa membayar upah minggu terakhir buruh bekerja. Dia sama sekali tak punya uang, sebab semua miliknya juga telah diambil Jepang untuk modal perang. Buruh pun bubar dengan hati cemas dan kecewa. Nampaknya saudara tua yang digadang-gadang telah menjadi kakak tiri yang jahat.
Sore harinya, Idroes Moeria dan beberapa teman sekerja-terinasuk Soedjagad-menemui Pak Trisno, demi mengungkapkan kesedihannya akan keadaan Pak Trisno sekarang. Lelaki itu menemui mereka dengan wajah kuyu. Dia bilang bahwa sudah untung dirinya tidak disuruh ikut bekerja untuk Jepang.
Orang bilang, Jepang membawa mereka ke Soerabaia, ke sebuah tempat bernama Koblen, di sanalah orang yang dibawa kemudian dipekerjakan. Pak Trisno mengaku kalau dirinya kini sama sekali tak punya uang. Ia bilang, di rumah itu masih ada dua keranjang tembakau kering siap pakai. Ia berniat menjual dua keran jang tembakau itu dengan harga murah. Ia meminta mereka untuk mengabarkan pada siapa pun yang mau membelinya.
Idroes Moeria pulang dengan pikiran penuh. Ia mengeluarkan simpanan uangnya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari upah melinting. Malamnya, dia kembali ke rumah Pak Trisno, dan mengungkapkan niatnya untuk membeli tembakau yang tersisa. Ia mengeluarkan semua uang simpanannya, ”aku hanya mampu membayar segini,” ucapnya sambil menyodorkan uang itu. Pak Trisno menangis melihat uang itu. Ia menerimanya, meski jumlahnya jauh dari jumlah yang pantas dibayarkan jika membeli tembakau dari ladang.
”Aku cuma punya tembakaunya, kelobotnya tidak ada,” Pak Trisno berkata.
”Tak apa, saya bisa bikin kelobot sendiri.” Pak Trisno mengangguk terharu dengan jawaban Idroes Moeria. "Pak..., saya mau minta tolong.”
”Apa?”
’Ajari saya membaca huruf abjad,” pinta Idroes Moeria. Pak Trisno mengiyakan. Besok, dia akan mengajarkan Idroes Moeria membaca.
Malam itu, Idroes Moeria bolak-balik dua kali demi mengangkut tembakau Pak Trisno. Ia meminjam gerobak sapi untuk mengangkutnya. Ia begitu semangat untuk memulai usaha klobotnya sendiri. Pak Trisno memberikan sisa cengkeh yang tinggal sedikit dengan cuma-cuma.
Pagi-pagi benar, Idroes Moeria mendatangi buruh yang mulai bekerja di ladang jagung.
Ia membeli sejumlah daun jagung dengan harga murah. Kemudian, dengan tampah, ditatanya daun jagung itu di atas genteng rumahnya. Ia akan membuat klobot sendiri. Seusai itu, ia pergi ke rumah Idroes Moeria untuk belajar membaca huruf abjad pada sebuah papan yang menggunakan kapur tulis. Ia baru mcnghapal deretan huruf vokal, Aa-Ii-OEoe-Ee-Oo, ketika seorang tamu datang: Soedjagad.
Ia melirik pada Idroes Moeria yang sedang mencoba meniru tulisan Pak Trisno, menegurnya dengan basa-basi.
Idroes Moeria menguping pembicaraan mereka.
[-]
”Pak, saya sudah nemu pembeli mbako yang mau.”
”Wah, telat Le...!”
’Telat tpiye, Pak?”
”Wis dituku wong."
’’Siapa?”
’’I t u ” Pak Trisno menunjuk ke arah Idroes Moeria, yang kemudian mau tak mau nyengir karena merasa diomongkan.
’’Kamu beli mbako buat siapa?”
’’Bukan buat siapa-siapa. Buat aku sendiri.”
’’Buat apa beli mbako sebanyak itu? Mau ngeses sampe klenger, koive?” Idroes Moeria kembali hanya nyengir. Dia tak hendak menjelaskan rencananya. Dia ingin orang lain melihatnya saja. Soedjagad pulang dengan tampang kecewa. Tak jadi dapat persekot dia.
Siang Idroes Moeria pulang, membawa sejumlah hapalan bentuk-bentuk huruf abjad di kepalanya, sambil terus melaju sepedanya. Tak lupa, ia melewati rumah Roemaisa yang pintunya tertutup.
Seolah ia ingin teriak pada gadis itu, bahwa ia sedang belajar membaca. Idroes Moeria mengayuh kembali sepedanya ke rumah, menurunkan daun jagung. Ia meminjam setrika arang milik simboknya, lalu dengan penuh hati-hati disetrikanya daun jagung yang telah kering itu. Setelah itu, ia menggunting satu per satu lembaran daun jagung tadi, dan jadilah klobot. Idroes Moeria puas melihat tumpukan klobot bikinannya sendiri, menumpuk di sebelah tempat tidurnya. Ia begitu yakin, cita-citanya menjadi pengusaha klobot akan membawanya pada masa depan yang cerah. Ia tidur dengan hati riang, membayangkan sejumlah uang yang berhasil didapatnya dari berjualan klobot. Dengan uang itu ia melamar Rocmaisa.
Keesokannya, sepulang dari belajar membaca di rumah Pak Trisno, ia melinting sejumlah klobot. Hari itu dapat melinting empat ratus klobot. 'Pak apa, pikirnya, toh dia hanya bekerja separuh hari. Biasanya, ketika ia masih jadi buruh di rumah Pak Trisno, sehari dia bisa dapat sekitar seribu dua ratus linting klobot. Beberapa buruh yang rajin dan punya tangan lebih fasih bisa melinting hingga dua ribu batang klobot. Mereka tak perlu lagi melihat klobot lintingannya hingga usai diikat dengan tali rami. Sebe narnya Trisno bisa melinting lebih banyak, tetapi mau tak mau Trisno harus berhenti melinting sebelum matahari bersembunyi ke Barat. Dia menempatkan klobot-klobot lintingannya dan menjemurnya di bawah matahari. Lalu, dia cipratkan sakarin secara merata agar klobot menjadi manis. Ini pula yang membuat klobot anti air.
Ketika matahari mulai benar-benar pelit menampakkan
sinarnya, cepat-cepat Idroes Moeria mengangkut klobotnya ke dalam rumah. Dia tak ingin embun, apalagi hujan, meng gagalkan usaha pertamanya memproduksi klobot sendiri. Banyak batang klobot yang dirasanya belum kering benar. Besok pagi, saat embun sudah benar-benar pergi, dia akan menjemur klobot-klobotnya sebelum pergi belajar membaca ke rumah Pak Trisno, niat Idroes Moeria dalam hati.
Diambilnya sebatang klobot yang dirasa sudah kering.
Disulutnya api pada ujung klobot itu dan diisapnya: klobot bikinan sendiri. Sambil matanya tak lepas melihat ke arah klobot-klobot bikinanannva. Terngiang ucapan Soedjagad, "Mau tigeses sampe klenger,; koive?” Idroes Aloeria tertawa kecil. Ia telah mempersiapkan satu nama yang paling cocok untuk klobot produksinya: Klobot Djojobojo. Ya, demikian Idroes Moeria akan menamai klobotnva.
Idroes Moeria diam-diam merasa bangga dengan dirinya, ia telah menjadi juragan bagi dirinya sendiri. 'lak lagi dia bekerja untuk orang lain. Dengan tekun dikerjakannya semua hal sendiri. Karena tak punya cukup modal untuk membuat etiket apalagi selubung kemasan, maka Idroes Moeria memutuskan untuk membeli beberapa lembar kertas payung, memotongnya, lalu membungkus bundel 10 batang klobot. Diambilnya sedikit tepung sagu, dan dipanaskan di atas api hingga meleleh. Ia menggunakan sagu itu sebagai lem untuk memperkuat bungkusan kertas payung klobot produksinya. Idroes Moeria berniat memasok klobot buatanny-a ke kios-kios pasar dan toko obat. Tapi ternyata, tidak segampang yrang dipikirkannya.
[-]
Mbak-mbak pegawai toko obat awalny'a tak percaya dengan klobot bikinan Idroes Moeria, sebab memang kemasannya tak meyakinkan, bahkan etiketnyra pun tak ada. Padahal semua orang tahu, sebuah produk kretek akan dikenal pertama kali lewat selubung kemasan yang mentereng, atau setidaknya etiket yang ditempelkan kebungkus kertas. Akhirnya, lelaki Tionghoa pemilik toko obat itu akhirnya turun tangan sendiri. Dia mengajukan syarat agar diperbolehkan mencicipi sebatang klobot.
Pemilik toko obat itu bilang bahwa pelanggannya yang datang dan membeli krctek klobot masih percaya dengan faedah kretek yang konon bisa menyembuhkan asma. Ya, kretek memang awalnya dikenal sebagai obat asma, dengan adanya cengkeh yang terkandung di dalamnya. Lelaki itu memantikkan geretan dan mulai mengisap klobot milik Idroes Moeria. Idroes Moeria setuju, hitung-hitung ini modal awal untuk penglaris.
’Cengkehnya da mana? Mana bisa saya jual barang begini. Wong sing asma ra bakal m ari” Pemilik toko obat berkomentar dengan logat Jawa-China yang khas. Idroes Moeria sadar, ia hanya menambahkan sedikit campuran cengkeh pada tembakau keringnya. Itu karena memang Pak Trisno cuma punya sisa sedikit cengkeh untuk dicampurkan, sedang Idroes Moeria tak ia tak punya modal lebih untuk membeli cengkeh lagi.
Lelaki Tionghoa itu setuju untuk menerima klobot milik Idroes Moeria di kios obatnya jika di produksi se lanjutnya ia memberikan lebih banyak cengkeh. Idroes Moeria menyanggupi. Ia tak alpa mencatat semua itu demi kelangsungan usahanya yang baru dirintis. Ia ingin tahu apa yang benar-benar diinginkan konsumennya.
'Lak lama setelah ia bisa membaca dan menulis, dia menuliskan nama Klobot Djojobojo di kertas payung bungkusan klobot. Kali ini, Idroes Moeria mulai mencatat semua pengeluarannya di dalam buku catatan yang dengan rapi, digaris pula pinggirnya dengan sebilah mistar. Tulisannya pun berangsur-angsur membaik, awalnya hanya menggunakan potlot, kini Idroes Moeria menggunakan ballpoint. Tiga hari sekali, dia kembali ke pasar, warung dan toko obat untuk menanyakan hasil penjualan dan mengambil untung.
Idroes Moeria memerhatikan pembelinya. Seperti janjinya pada pemilik toko obat, Idroes Moeria memberikan lebih banyak cengkeh untuk klobot yang akan dia pasok ke toko-toko obat. Sedangkan untuk kios-kios pasar, jumlah cengkeh yang dicampurkan tidak sebanyak yang di toko obat. Idroes Moeria memisahkan keduanya agar tak tercampur, meskipun ia tetap menggunakan kertas payung berwarna sama untuk bungkusan klobot. Lebih dari itu, para buruh tani banyak yang lebih suka membeli tingwe alias linting dewe, sebab banyak dari mereka yang merokok klembak menvJ an. Idroes Moeria memutuskan untuk melakukan tes pasar.
Dia melinting beberapa klobot klembak menyan dan memberinya bungkus dengan warna yang berbeda, yaitu warna merah. Ia juga menuliskan Klembak Menjan Djojobojo di bungkusan tersebut. Sedang bungkus kertas payung putih, berarti klobot kretek biasa.
Kesemuanya, tentu saja, ditulis sendiri dengan tangan.
[-]
Ketika suatu hari Idroes Moeria memasukkan dagangannya ke pasar, seseorang suruhan juga sedang menitipkan klobot dengan nama dagang baru kepada pedagang pasar langganan Idroes Moeria.
Orang itu sedang berusaha meyJ akinkan bahwa klobot baru ini enak, bahkan berani memberikan separuh harga untuk para pembeli hari itu saja. Ini berarti, pedagang pasar bisa mendapat untung besar. Diperhatikannya bungkus klobot tersebut, dibungkus dengan kertas kopi yang menjadikannya terlihat lebih rapi, juga tidak ada etiket yang menghiasi bungkusnya.
Sama dengan Klobot Djojobojo, klobot baru itu juga ditulis tangan dengan bentuk huruf yang rapi dan jejak berdiri rata nan tegak. Berbeda dengan bungkus klobot milik Idroes Moeria yang tulisannya kurang rapi meski ia telah mengusahakan. Idroes Moeria membaca nama dagangnya: Klobot Djagad. Djagad? Jangan-jangan....
”Ini klobot siapa yang bikin?”
”Ya Mas Djagad, wong namanya saja Klobot Djagad. Mau beli, Mas?” Orang suruhan itu menawarkan.
"Djagad, Soedjagad?” Idroes Moeria meyakinkan.
”Iya.”
Orang itu melihat bungkus Klobot Djojobojo yang dibawa Idroes Moeria.
"Mas namanya Mas Djojobojo tbo?” Kiranya orang suruhan ini bisa membaca abjad.
Idroes Moeria menggeleng, "bukan.” Ia menjawab pendek.
"Kok nama klobotnya Djojobojo?”
”Iya, Droes.... Aku juga heran, kok kamu pakai nama dagang Djojobojo? Wong namamu Idroes Moeria. Kalau sekalian nama dagangnya ’dingklik’, atau ’papringan’, atau
’bintang’ malah ndak apa-apa. Bukan nama orang” Pedagang klobot yang dititipkan ikut komentar.
’Saya suka nama Djojobojo, Mbakyu.” Idroes Moeria tersenyum. ’’Djagad sekarang bisa baca tulis, tbo?” tanya Idroes Moeria pada orang suruhan itu tadi.
”Oh, ndak Mas. Mas Djagad nyewa orang untuk nulis, biar rapi, katanya.” Masih belum bisa baca tulis berarti si Djagad itu, pikir Idroes Moeria. ”Itu Mas yang nulis sendiri?” tanya orang itu lagi, sambil menunjuk Klobot Djojobojo produksinya. Idroes Moeria hanya mengangguk kecil, sambil menduga-duga apa yang dipikirkan orang itu. Jangan-jangan dalam hati ngenyek kalau tulisan tangannya buruk. Lebih dari itu, jangan-jangan sepulang dari sini, si orang suruhan Djagad ini akan melapor pada tuannya, bahwa tulisan nama dagang di bungkusan jauh lebih rapi milik Soedjagad. Idroes Moeria punya begitu banyak jangan-jangan yang tiba-tiba menyergap batinnya. Dia bertekad, suatu hari nanti dia akan punya modal yang cukup untuk membuat selubung kemasan yang mentereng, atau setidaknya membuat etiket untuk ditempelkan ke bungkus.
’’Beli, Mas?” Eh, si orang suruhan masih juga berani menawarkan barangnya pada Idroes Moeria. Terlalu. Tapi, dua detik kemudian Idroes Moeria berpikir, lalu