Sinden Pengabdi Setan Chapter 1
"Sinden Pengabdi Setan Chapter 1"
Judul | Sinden Pengabdi Setan |
---|---|
Chapter | 1 - 7 |
Instagram: | diosetta.69 |
Twitter: | diosetta |
Youtube: | diosetta |
“Bu, itu siapa yang nembang malam-malam begini?”
“Sudah nak, jangan dihiraukan.. Tidur yang nyenyak ya” Ucap ibu dengan mimik wajah yang seolah terlihat ketakutan.
Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..
Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…
Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun, kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
Sinden Pengabdi Setan Part 1 - Kidung Penyambut Malam
Panggung pementasan..
Aku berdiri mengagumi kemegahan panggung yang berdiri tak jauh dari desa tempatku tinggal. Sebuah panggung yang dibangun dengan susunan kayu dengan latar pemandangan bukit di belakangnya.
Sayangnya, panggung ini sudah tidak pernah digunakan dan hanya dibiarkan begitu saja dengan kayu-kayunya yang mulai lapuk, seolah menjanjikan bahwa ia akan hancur tak lama lagi.
Memang, hanya lahan kosong yang berbatasan dengan hutan yang ada di sekitar tempat ini.
Tapi kami anak-anak cukup senang bermain layaknya seorang penyanyi dan penari di atas panggung reyot ini.
Dari atas panggung, kami selalu merasa bahwa sebelumnya pernah ada rumah-rumah atau desa yang berada di sekitar.
Apalagi pemandangan lahan yang sudah ditumbuhi semakpun seolah tidak bisa menutupi bahwa pernah kehidupan di sekitar sini.
“Gendis, Pulang yuk.. sudah sore” Ajak Kia satu-satunya teman bermain yang seumuranku di desa.
Aku melihat langit sudah mulai memerah dan segera menuruti ajakan Kia untuk meninggalkan tempat ini.
Walaupun senang bermain di sini, kami tahu dengan jelas bahwa saat matahari mulai terbenam pemandangan di tempat ini tidak akan lagi sama. Gelapnya langit malam merubah tempat ini menjadi lebih layak untuk di huni oleh mereka yang tidak kasat mata.
“Dari pendopo hutan lagi?” Tanya ibu yang sepertinya sudah beres menyiapkan makan buat kami.
“Iya bu , main sama Kia”
“Ya sudah, sana mandi dulu.. habis itu makan. Bapak bentar lagi pulang”
Aku menuruti perintah ibu dan segera mengambil handuk menuju kamar mandi yang terpisah di belakang rumah. Dengan segera aku membersihkan tubuhku untuk kembali menemui ibu di meja makan.
Ikan asin dan sayur lodeh. Menu masakan yang selalu menjadi favoritku. Ibu sudah mengambilkan nasi dan meletakanya di hadapanku.
“Sekolahnya gimana? Ada PR nggak?” Tanya ibu.
“Ada, tapi tadi Gendis kerjain duluan sebelum main,“ jawabku sambil memamerkan senyumku pada ibu.
Ibu balik tersenyum dan mengusap kepalaku.
Biasanya ibu tidak bertanya mengenai pekerjaan rumahku karena memang aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Mungkin karena aku baru saja masuk SMP ibu khawatir aku akan merasa kesulitan.
Akupun menghabiskan nasi dan sayur lodeh yang sudah disiapkan oleh ibu. Ini sayur favoritku, melihatnya terpampang di depan mata membuatku tidak tahan walau hanya sebentar menunggu bapak.
Belum lama aku selesai membereskan peralatan makanku dari luar terdengar suara berisik yang tidak biasa. Seolah ada warga yang berkerumun tak jauh dari rumah kami.
“Ono opo iku bu?” (Ada apa itu bu?) Tanyaku.
“Mbuh, nggak tahu.. ibu liat dulu..” Balas ibu.
Akupun menyusul ibu dan menyaksikan keramaian yang terjadi di tengah desa.
“Lungo! Aku ora sudi nompo awakmu meneh!” (Pergi! Aku tidak sudi nerima kamu lagi!) Usap Pak Baskoro salah satu perangkat desa di tempat ini.
Di depanya terlihat seorang wanita masih dengan riasan menangis memohon kepada suaminya itu. Dia adalah Bu Lindri atau sering dipanggil Nyai lindri karena dikenal sebagai pesinden di beberapa kelompok wayang.
“Pak! Itu Fitnah pak… aku ora ono opo-opo karo Ki Joyo Talun, Sumpah pak!”
(Pak! Itu Fitnah pak.. Aku tidak ada apa-apa dengan Ki Joyo Talun) Teriaknya sambil terus menangis.
Namun bukanya berhenti, Pak Baskoro malah semakin kasar. Iya mengambil kendi air yang ada di depan rumahnya dan melemparkanya ke wajah istrinya itu hingga wajah dan tubuhnya terluka dengan pecahan kendi itu.
“Sudah pak, sudah… jangan keterlaluan.” Ucap Mas Jatmiko, salah satu pemuda di desa ini.
“Diam kamu! Kalau ada yang ikut campur, aku pastikan kalian juga senasib dengan dia!”
Mendengar ucapan Pak Baskoro itu, semua warga terdiam dan tidak berani melawan, termasuk mas Jatmiko.
Baskoro adalah salah satu orang terpandang di desa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hanya dengan perintahnya saja, satu orang warga bisa diasingkan dari desa ini.
“S-Sudah Nyai, pergi saja.. daripada Pak Baskoro semakin marah,” ucap salah seorang ibu yang sudah tidak tega melihat penghinaan itu.
Tak ada pilihan lagi, Nyai Lindri sekuat tenaga berusaha berdiri. Ia menatap sekali lagi suaminya yang masih terus mengumpatnya dan berpaling berjalan meninggalkanya dengan langkah yang terseok-seok sambil menangis.
Belum cukup puas, Pak Baskoro mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melemparkanya hingga mengenai belakang kepala Nyai Lindri. Dari jauhpun aku melihat darah menetes dari kepalanya.
“Perempuan sundal!” Teriakan Pak Baskoro menghantarkan kepergian Nyai lindri.
Aku yang melihat kejadian itu tidak mampu menahan tangis. Walaupun luka dari lemparan batu itu sakit,
tapi aku yakin itu tidak sesakit luka yang ditorehkan suaminya itu di hati dan perasaanya hingga suara isak tangis Nyai Lindri terdengar di setiap langkahnya.
“Bu, kita tolong nyai lindri bu..” Pintaku pada ibu.
“J—jangan nak, kalau ketahuan keluarga kita bisa celaka,” larang ibu.
Tepat saat Nyai lindri meninggalkan gerbang desa. Terdengar suara alunan tembang mengalun ditengah kesunyian dengan suara isak tangis di setiap jedanya.
[-]
Itu adalah suara Nyai Lindri..
Aku tidak dapat mendengar dengan jelas kata-kata yang dinyanyikan, namun aku berani memastikan tidak ada hati yang tidak terenyuh melihat dan mendengar kejadian saat ini.
Setelah Nyai Lindri menghilang di kegelapan hutan, semua warga membubarkan diri dan masuk kerumahnya masing-masing dalam kesunyian. Tak lama kemudian bapakpun pulang ke rumah, wajahnya terlihat sedikit bingung.
“Pak, bapak tau masalahnya Nyai Lindri?” Tanya Ibu.
“Iya bu, mereka sudah keterlaluan.. bapak mendengar perbincangan Baskoro dengan Ki Joyo talun.” Ucap Bapak.
“Maksud bapak apa?”
“Sudah bu, bukan urusan kita. Lebih baik kita jaga jarak dulu dari mereka..”
Bapakpun terlihat tidak ingin membahasnya dan pergi ke belakang untuk mandi.
Ucapan bapak malam itu mulai kumengerti beberapa hari setelahnya. Pak Baskoro membawa seorang perempuan untuk tinggal di rumahnya. Menurut cerita warga, dia adalah salah satu penari yang dikenalkan oleh Ki Joyo Talun.
Bagaimana mereka bisa akrab? Padahal Pak Baskoro menuduh Nyai Lindri berselingkuh dengan Ki Joyo Talun.
Rupanya, itu hanya rencana mereka berdua saja untuk memisahkan Nyai Lindri dari Pak Baskoro agar ia bisa bersama dengan wanita penari itu.
Pak Baskoro juga sering memamerkan kemesraanya dengan perempuan itu di depan warga. Warga yang melihatnya hanya meladeni ucapan pak Baskoro karena takut.
Suatu malam tiba-tiba terdengar suara tembang dengan suara yang lirih.
Warga mencari asal suara itu dan melihat Nyai Lindri di depan desa menyaksikan Baskoro dan wanita itu berduaan dengan mesra.
Wajah Nyai Lindri terlihat begitu kotor dengan baju dan rambut yang berantakan. Ia terus menyanyi sambil meneteskan air mata.
Pak Baskoro yang melihat hal itu segera pergi dan membawa perempuanya masuk kembali ke dalam rumah tanpa menghiraukan Nyai Lindri.
Setelah kejadian itu, setiap malam nyai lindri selalu muncul di desa dengan menyanyikan lagu yang semakin hari semakin terdengar lirih.
Mungkin ia berharap hari Pak Baskoro bisa tergerak dan mau menerimanya kembali.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya..
Saat hari berikutnya Nyai Lindri kembali ke desa. Pak Baskoro sudah bersiap bersama Ki Joyo Talun menyambut kedatanganya.
“Perempuan sundal itu sudah urusanmu, tubuh dan nyawanya sudah tidak ada urusanya denganku” Ucap Pak Baskoro kepada Ki Joyo Talun.
Mendengan kata-kata itu Ki Joyo Talun tersenyum. Ia segera mengajak anak buahnya keluar desa untuk menghampiri Nyai Lindri.
Seketika wajah Nyai Lindri ketakutan. Iapun berusaha untuk pergi namun aku yakin orang-orang itu mampu mengejarnya.
Yang ku ingat saat itu hanya suara teriakan Nyai Lindri dari dalam hutan, dengan suara tawa Ki Joyo Talun dan anak buahnya.
Malam ini aku tidak bisa tidur dengan tenang setelah melihat kejadian tadi. Kadang aku berpikir apakah harta dan kekuasaan bisa merubah seorang manusia menjadi lebih buruk dari pada setan.
Siang itu sepulang sekolah aku bermain kembali ke pendopo panggung tua bersama Kia. Kali ini tempat ini sedikit berbeda. Seperti ada bekas orang yang berada di tempat ini. di sekitar pendopo juga ada bekas kembang yang sudah kering.
Aku dan Kia bermain seperti biasa, namun samar-samar aku seperti melihat seseorang melintas di sekitar kami. Namun saat aku menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana.
Seperti biasa akupun bermain sampai sore dan segera kembali ke rumah sebelum ibu mencariku.
Malam itu tidak lagi terdengar suara nyanyian Nyai Lindri, namun sepertinya tidak ada satupun warga desa yang peduli.
Semua warga desa seperti berpura-pura tidak mempedulikan dengan apa yang terjadi dengan Nyai Lindri kemarin dan melewati malam itu begitu saja.
Namun semua berubah di pagi hari dengan apa yang seorang warga temukan.
Tiba-tiba ada seorang warga berteriak histeris dan membangunkan hampir seluruh warga desa.
Semua orang berkumpul menatap ke arah gerbang masuk desa. Pemandangan mengerikan terlihat dengan jelas di sana.
Jasad Nyai Lindri menggantung di tiang gapura desa dengan tali tambang yang terikat di lehernya…
Wajah Pak Baskoro terlihat kebingungan melihat kejadian itu. Ia tidak menyangka niat busuk yang ia rencanakan dengan Ki Joyo Talun sampai membuat Nyai Lindri berani mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.
Tak berhenti sampai di situ, Pak Baskoro semakin panik saat melihat isi lembaran kertas yang diganjal dengan sandal, tepat di bawah jasad yang menggantung itu.
Awak sing ringkih iki ora bisa mbales kabeh tumindakmu sing njijiki...
Nanging sampeyan kabeh kudu ngrasakake lara sing dakalami..
Bakal ono balesane kabeh.. Aku bakal nggawe sampeyan rumangsa luwih saka iki ...
Aku ngedol kabeh jiwa lan ragaku marang wong demit lan setan manggon ing neroko, kanggo males loro iki ...
( Tubuh lemah ini tidak mampu membalas semua perbuatan keji kalian…
Tapi kalian harus merasakan penderitaan yang kualami..
Akan ada yang membalas semuanya.. akan kupastikan kalian merasakan yang lebih dari ini…
Aku jual semua jiwa dan ragaku pada penghuni neraka,untuk membalas rasa sakit ini…)
Membaca tulisan itu seketika seluruh warga menjadi merinding. Nyai Lindri meninggal dengan membawa dendam. Itu menjadi terlihat jelas saat melihat jasadnya dengan mata yang masih terbelalak dengan mengerikan.
“Gendis.. pulang, jangan diliatin” Perintah ibu yang segera menarikku.
“I—Iya bu”
Belum pernah aku melihat pemandangan semengerikan ini seumur hidup. Ibu berkali-kali berkata padaku untuk melupakan kejadian itu dan terus mendoakan Nyai Lindri.
Namun tetap saja, menghilangkan bayangan wajah jasad Nyai Lindri dalam ingatanku tidaklah semudah itu.
Malam semakin larut, suasana mencekam dari kematian Nyai Lindri tidak pudar walau sudah beberapa hari berlalu.
Ada kutukan yang ia janjikan dengan nyawanya sebagai bayaranya..
Sesepuh desa dan orang-orang yang punya kemampuan memastikan itu. menurut mereka, desa ini hanya tinggal menunggu waktu untuk menerima bala bencana yang dijanjikan Nyai Lindri.
“T---Tolong!! Tolong pak!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang memecah heningnya malam itu. ini sudah hampir tengah malam, seharusnya sudah tidak ada lagi warga desa yang masih berada di luar rumah. Namun teriakan orang itu pasti memanggil warga untuk keluar.
“Ono opo mas?” (Ada apa mas?) tanya salah seorang warga.
“T—tolong pak.. di desa sebelah, desa saya..”
“Desa bapak kenapa?”
“Kami sedang mengadakan pementasan wayang Ki Joyo Talun.. lalu ada kejadian aneh pak” Ucap orang itu dengan terbata-bata.
[-]
“Kejadian aneh apa maksud bapak?”
Warga desa sebelah itu menceritakan, saat di tengah-tengah pertunjukan wayang Ki Joyo Talun tiba-tiba semua pemain terhenti serentak. Tidak ada satupun sinden dan pemain gamelan yang mengeluarkan suara. Entah mengapa bisa begitu.
Tak lama setelahnya terdengar suara seseorang nyinden dan nembang dengan suara yang aneh. Warga desa melihat ke sekitarnya namun tidak ada satupun petunjuk asal suara itu.
Suara itu seperti mengalun ke sekeliling warga seolah ada seorang sinden yang nembang di sekitar warga. Anehnya Ki Joyo Talun terlihat ketakutan. Matanya menuju ke arah suara itu dengan tubuh yang gemetar. Seluruh anggota pementasanpun terlihat aneh.
Dan tepat saat kidung itu selesai, Ki Joyo Talun dan seluruh anggotanya tergeletak tak bernyawa di tempatnya masing-masing dengan mata yang terbelalak dan darah yang terus mengucur dari telinganya.
Seketika seluruh warga desa itu panik mencari pertolongan ke semua desa terdekat.
“Saya sengaja menuju ke desa ini karena sepertinya saya mengingat suara itu, suara itu mirip salah satu sinden yang berasal dari desa ini… Nyai Lindri.”
Seketika seluruh warga desaku panik. Suasana hening di malam itu berubah menjadi keramaian dari suara warga yang mempertanyakan nasib mereka.
“Pak, apa ini seperti yang diceritakan eyang dulu?” Tanya ibu pada bapak.
Bapak terlihat berpikir, namun sepertinya ia mengingat sesuatu, begitu juga dengan beberapa warga.
“Nyai Lindri membangkitkan kutukan itu dengan nyawanya sebagai bayaranya,” ucap salah satu warga desa.
Kutukan? Desa ini pernah kena kutukan?
Aku tidak pernah mendengar cerita tentang ini sebelumnya. Dari warga yang berbisik-bisik, aku mengengar mereka membicakan tentang kutukan dari sinden pengabdi setan yang pernah tinggal di sekitar tempat ini.
“Ini semua salah Baskoro,” ucap Mas Jatmiko yang sebenarnya sudah sangat kesal dengan kelakuan Pak Baskoro.
“Benar, harusnya dia yang bertanggung jawab,” tambah warga lainya.
Kekesalan mereka sudah memuncak dan bersiap menghampiri rumah Pak Baskoro. Tapi beberapa warga menghadangnya.
Mereka mengingatkan bahwa sebelumnya ada warga desa yang mencoba berurusan dengan Baskoro dan warga itu berakhir di tengah hutan dengan tubuh babak belur hingga cacat. Akhirnya orang itupun memilih untuk meninggalkan desa karna terus diteror anak buah Baskoro.
Bencana yang menimpa kelompok wayang Ki Joyo talun tidak dapat dilupakan begitu saja oleh warga desa.
Kisah itu membuat warga desa was-was. Bahkan Pak Baskoro sampai beberapa kali mengundang dukun untuk melindunginya.
Dia percaya hal itu bisa melindunginya dari Nyai Lindri.
Malam selasa suro…
Aku mengingat saat itu bulan purnama bersinar begitu terang. Di depan teras rumah aku menunggu Bapak dan Ibu yang seharusnya sudah pulang dari tadi.
Entah hanya halusinasiku atau bukan. Samar-samar aku melihat bayangan yang kadang terlihat dan kadang menghilang melintas di hadapanku.
Sekilas bayangan itu menyerupai seorang wanita yang mengenakan kebaya.
Tak lama setelah itu , sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara itu terdengar ke seluruh penjuru desa berupa suara tembang yang dinyanyikan seorang sinden tanpa iringan musik.
Seketika aku merasa merinding dan memilih untuk masuk ke rumah.
Setelah aku masuk, tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Itu adalah suara bapak dan itu.
Mereka terburu-buru menuju kamarku dan wajahnya terlihat lega saat menemukanku.
“Ada apa to bu?” Tanyaku.
“Nggak.. nggak papa nduk, tidur saja.. nanti ibu temenin” Balas ibu sambil mengatur nafasnya.
Ibu meninggalkanku sebentar untuk berbicara dengan bapak. Samar-samar aku mendengar mereka sedang membicarakan Nyai Lindri dan Baskoro sebelum akhirnya mereka selesai dan ibu kembali ke kamar.
Saat ibu mendekat aku baru menyadari keanehan wajah ibu. Wajahnya terlihat cemas.
Tepat saat aku mulai tertidur, sayup-sayup aku mendengar suara tembang yang dinyanyikan seseorang. Suaranya terdengar tidak jauh dari rumah kami, tapi… suaranya terdengar lirih dan menakutkan…
Seketika saat itu juga wajah ibu berubah.
Suara tembang itu tidak bergerak seperti sebelumnya, ia berhenti di dekat rumah dan tidak berpindah.
“Sebentar ya nduk..” Ucap Ibu meninggalkanku.
Tak lama terdengar suara pintu rumah terbuka. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku merasa ibu dan bapak di luar cukup lama sampai akhirnya ibupun kembali ke kamarku.
“Bu, itu siapa yang nembang malam-malam begini?”
Tanyaku yang masih mendengarkan suara seorang wanita sedang ‘nyinden’ dengan suara yang tidak jauh dari tempat kami berada.
“Sudah nak, jangan dihiraukan.. Tidur yang nyenyak ya,” ucap ibu lagi dengan mimik wajah yang seolah terlihat ketakutan.
Walau begitu, ibu tetap menenangkanku dengan menemaniku tidur sambil membelai rambutku. Ia menggumam menyanyikan lagu untuk menenangkanku. Dan itu berhasil membuatku tertidur.
Tapi…
Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..
Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…
“B—Bapak! Ibu kenapa pak..” Aku berteriak sambil menangis melihat kondisi ibu yang mengenaskan.
Bapak segera berlari menuju kamarku. Tubuhnya seketika lemas tak berdaya sambil terus memeluk ibu dalam tangisnya.
Bapak terus memastikan nafas dan jantung ibu. Namun sama sekali tidak ada pergerakan hingga akhirnya bapak membacakan doa dan menutup mata ibu.
Aku terus menangis saat itu. Bapak berusaha bersikap tegar untuk menenangkanku. Namun ini benar-benar tidak mudah.
Suara ramai terdengar dari luar. Aku dan bapak mencoba memeriksanya dan berniat mencari pertolongan untuk membantu kami mengurus jenasah ibu.
Namun yang terjadi benar-benar di luar nalar.
Warga terlihat buru-buru ke berbagai tempat. Ada yang menggotong keranda di masjid, ada yang memasang bendera kuning, dan terlihat beberapa warga yang menangis di depan rumahnya.
“Pak, Bu Citra dan anaknya meninggal semalam..” Ucap Mas Jatmiko yang kebetulan melewati rumah kami bersama warga lainya.
Tentu saja kami kaget mendengar berita itu, apalagi bukan hanya bu citra. Istri muda Pak Baskoropun dikabarkan ditemukan meninggal pagi ini.
Tapi, raut wajah warga desapun berubah saat kami menceritakan kondisi ibu.
Semua meninggal dengan kondisi yang sama. Mata terbuka dan darah yang mengalir dari lubang telinga.
Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun , kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
Menjelang siang, jenasah ibu bersama seluruh jenasah korban kutukan sinden itu dikumpulkan di balai desa. Warga membacakan doa agar roh mereka bisa tenang sebelum dikuburkan.
Terlihat wajah cemas dari seluruh warga desa yang berada di sana. Pak Baskoro tidak ada di tempat itu, padahal istrinya barunya juga terbaring diantar jenasah-jenasah ini.
Dari luar terdengar suara mobil melintas melewati balai desa. Warga memperhatikan keluar dan menemukan Pak Baskoro tengah meninggalkan desa dengan membawa barang-barangnya.
“Dia pasti mencoba menyelamatkan dirinya sendiri” ucap salah seorang warga.
“Kita juga harus mencari cara untuk menghentikan ini semua, kita tidak tahu kapan tembang terkutuk itu akan terdengar lagi..” Bapak mencoba berdiskusi dengan beberapa orang yang berada di balai desa,
Berbagai pendapat bermunculan, mulai dengan memanggil orang pintar hingga mengungsi. Namun keluarga pak baskoro yang sudah menggunakan dukun saja masih tidak selamat, hingga akhirnya tidak ada titik tengah dari perbincangan itu.
“Mungkin, aku kenal seseorang yang bisa membantu masalah ini.” Tiba-tiba Mas Jatmiko bergabung dalam perbincangan ini.
Warga mempertanyakan dengan apa yang dimaksud oleh Mas Jatmiko.
Ia menceritakan kejadian saat dulu ia ditipu saat bekerja di sebuah proyek. Mas jatmiko dijebak untuk tinggal di sebuah mess di sebuah desa di tengah hutan. Sebuah desa yang ternyata dihuni makhluk ghaib saat malam, dan ia ingin ditumbalkan bersama pekerja yang lain.
“Beruntung ada salah seorang pekerja yang memiliki teman yang mengerti hal ghaib, mereka menolong kami dari semua kutukan dan serangan makhluk ghaib di sana” Cerita mas Jatmiko.
Warga yang mendengar tidak menyangka bahwa Jatmiko pernah mengalami hal ini.
“Mereka dukun?” Tanya bapak memastikan.
Mas Jatmiko menggeleng.
“Mereka hanya pemuda biasa, salah seorang memiliki pusaka berupa keris. Dan katanya salah seorang lagi dijaga oleh roh makhluk berwujud Kera raksasa…
Saat itu Mereka menyelamatkan para pekerja dari desa terkutuk yang akhirnya kami tahu bernama.. Desa Tanggul Mayit”
Sekilas cerita mas jatmiko terdengar tidak mudah untuk dipercaya. Tapi walaupun emosional, Mas Jatmiko bukanlah seorang pembohong.
Warga yang mendengar cerita itu merasa mendapat harapan dan setuju untuk meminta pertolongan pemuda itu. walau begitu, warga lain juga berencana meminta pertolongan orang lain yang mereka percaya.
Satu hal yang aku tahu..
Kami.. warga desa tidak ingin kalah begitu saja dari kutukan ini. Satu yang kami sepakati, kami yakin bahwa hanya Yang Maha Kuasalah yang mampu menentukan kapan nyawa kami akan meninggalkan jasad kami.